Kehebatan Ayah, Mengapa?

Tidak bermaksud sombong, jika blog ini dijuduli dengan "Kehebatan Ayah". Kehebatan ayah yang dimaksud dalam blog ini juga tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan Ibu yang juga hebat. Kehebatan seorang ayah justru karena ia didampingi seorang ibu yang hebat.
Kehebatan adalah semangat yang selalu menjadikan keseharian begitu indah. Susah, senang, tantangan, harapan, dan segala hal yang kerap menyapa kehidupan kita, adalah pemantik kita menjadi hebat.
Tulisan di blog ini merupakan catatan sehari-hari kami tentang segala hal yang berkait dengan keluarga kami. Selamat membaca, semoga bisa menemukan mutiara di dalamnya .

Selasa, 06 Juli 2010

Liburan, aset baru, dan waktu

Liburan adalah sarana refresing bagi kami. Pasti bagi keluarga yang lain.
Padahal adalah rutinitas yang membuat kami harus mengelola kapasitas kami dengan baik agar liburan.
Kebetulan, bulan Juli tahun 2010 ini, kami sudah deal untuk membeli sebuah rumah yang selama ini kami kontrak untuk pendidikan KB-TK dan TPA, yang sehari-hari dikelola oleh istri saya.
Meski kredit, tapi insya allah rumah itu terbayar. Rencananya kami akan meningkatkannya menjadi sekolah yang lebih refresentatif, berkelas, dan berkualitas lebih bagus lagi.
Alhamdulillah, pengetahuan yang saya timba dari rekan-rekan di http://PropertiFree.com/?id=tantan, akhirnya saya memiliki properti ini.
Kemarin memang sempat kelabakan mengatur waktu karena antara liburan, mendantangani kesepakatan dan sebagainya itu mepet2 waktunya.

Catatan Menjelang Ultah Binda ke 5


Tak terasa. Anak saya yang pertama, Binda. Sudah genap lima tahun. Usia yang cukup besar, tetapi belum menjadi prestasi besar bagi kami dalam membesarkannya. Kami sadar, bahwa selama 5 tahun bergaul, mendidik, membangun, dan membesarkan Binda itu masih banyak kekurangan, masih banyak PR yang harus terus dikerjakan, dan masih harus banyak belajar.

Oh ya, sebelumnya saya akan bercerita mengenai pelaksanaan perayaan ini.

Sejak Binda suka diundang-undang acara Ulang Tahun kawan-kawannya, ia selalu bertanya kepada kami, kapan ia lahir. Kami tahu. Binda seorang diplomat. Bahasa-bahasa dia--meski waktu itu masih kecil--sudah sangat diplomatis. Tidak pernah langsung meminta sesuatu, tetapi menggunakan metapora lain.

Waktu dia bertanya demikian, kami menyadari bahwa ia ingin juga hari lahirnya dirayakan--sama seperti kawan-kawannya. Alhasil kami menjanjikan bahwa nanti tepat usianya yang kelima akan kita rayakan.

Binda sangat sabar. Termasuk ketika kawan-kawannya mendapatkan sepeda baru yang lebih besar, ia bersedia tidak mendapatkannya hanya karena ia lebih ingin merayakan ulang tahun. Sedih juga sih. Tapi sebuah sepeda yang cukup besar dan baik bagi dia, harganya juga lumayan. Sementara itu, kebutuhan kami terus berjalan. Dan di sisi lain kami juga harus menyisihkan dana yang ada untuk acara ini. Jadi acara ultah Binda tidak boleh gagal. Sebab anak kami sudah bersabar bertahun-tahun.

Kami bukan tidak ingin merayakan ultah seperti yang lain. Tetapi bagi kami acara dengan menghadirkan anak-anak tetangga+para ibunya itu, sangat mahal. Sementara rezeki yang ada hanya cukup untuk sehari-hari, plus bayar banyak cicilan.

Sebenarnya, ulang tahun Binda hari ini (05 Januari) tetapi berhubung hari ini kurang strategis, untuk perayaannya kami melaksanakannya esok (ahad, 06 Januari). Beberapa persiapan standar sudah kami lakukan.

Ada sebuah kue ulang tahun dikirim dari Neneknya di Jakarta yang kebetulan penjual dan pembuat kue. Dan pagi tadi, kami masih sibuk membungkus-bungkus kado-kado buat kawan-kawan Binda yang akan datang. Selain itu, nanti malam agendanya adalah memasak nasi kuning (buat anak-anak dan orang tuanya) dan soto ayam.

Wah rumah seperti kapal pecah. Tapi tidak apa-apa, yang penting acaranya bisa berjalan sukses. Itu jauh lebih penting bagi kami.

Selamat Ulang Tahun Binda. Maaf, kami belum maksimal merayakan ulang tahun pertama kali ini buatmu (dan mungkin sekali-kalinya seumur hidup [sstt...setelah ini acara ulang tahun dipending sebab agendanya buat anak saya yang kedua: Javid!] atau mungkin juga akan berulang).

Doa kami buatmu, semoga kamu merasakan bahwa kecintaan kami buatmu lebih besar dari bayangan dan perasaan kamu sendiri. Semoga kamu semakin dewasa, sebab kamu adalah matahari dan jimat kehidupan kami. Kamu adalah alasan yang membuat kami selalu semangat menapaki hidup--walau sangat berat. Dan kamu juga yang membuat kami berarti sebagai orang tua.

Kamis, 01 Juli 2010

Seperti Roda (mobil) berputar


Mungkin kalian masih ingat bagaimana kita pernah memiliki mobil starlet. Berikut ceritanya:
***

Beberapa Tahun lalu, menjelang lebaran kami disibukkan dengan rencana mau membali sebuah mobil. Mobil bekas yang kami cari harus bisa memenuhi criteria: enak, tidak terlalu murahan, jika dijual kembali harganya masih bagus, dan yang terpenting cocok dengan kantong kami.
Ternyata untuk mendapatkan mobil seperti kriteria di atas tidak mudah. Pencarian mulai dilakukan di internet. Berbagai info dan tips membeli mobil bekas ditelaah dengan seksama. Hasilnya, berlembr-lembar tulisan tentang itu. Kemudian setiap naskah itu didiskusikan dengan istri. Serius banget, deh.
Setelah mendapatkan berbagai info tentang mobil itu, baru kemudian membuat list mengenai mobil yang cocok dan mendekati. Lalu daftar penjualnya. Puluhan show room ditelepon dan didatangi; puluhan orang yang memajang iklan “mobil dijual” juga ditelepon. Pokoknya dihubungi lah.
Lucunya, itu hanya modal berani saja. Sebab duit di tangan belum ada.Namun sudah komitmen dari sebuah lembaga keuangan untuk menyediakan dana itu. Pokoknya, kami mencari saja.
Sepuluh hari menjelang idul fitri kami harus makin fokus. Iseng-iseng sewaktu pulang mengajar di Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ada sebuah mobil Starlet dipajang pada sebuah bengkel dengan tulisan “dijual”. Didekati, ditanya, sepertinya cocok. Starlet SE 1991, limted edition.
Singkat cerita mobil itu akhirnya bisa dibeli, kira-kira 4 hari sebelum lebaran.
Karena belum bisa menyetir sendiri, mertua saya yang membawa mobil itu. Termasuk untuk mudik ke Banten, lalu ke Garut. Dengan memiliki mobil itu, serasa derajat diri meningkat. Beberapa orang terdengar berdecak. Bayangkan, tidak lama setelah memiliki mobil itu, kami memugar tanah sisi rumah untuk dibuat bangunan baru. Sebelumnya, halaman depan kami dibuatkan carport.
Ada bangga juga sih. Seolah2 di saat banyak orang susah, kami malah ketiban rejiki. Agak sombong memang. Tapi itulah perasaan jujur kami. Maafkan kami ya Allah. Sebab tanpa kuasamu, rejeki itu tidak akan sampai kepada kami.
Kesombongan itulah yang kemudian ditegurkan Allah kepada kami. Karena untuk satu keperluan, kami memerlukan dana besar. Dan hasil kesepakatan, mobil itu kami jual kembali. Beruntung Starlet cantik itu tidak terlalu jatuh. Ada sesal, memang. Tapi mau bagaimana lagi, padahal saya sudah cukup lancar membawa mobil. Dan dengan kendaraan itu, kami menikmari sekali saat harus belanja, mengantar saudara ke bis, dan sebagainya.
II
Berbeda dengan tahun ini. Terbalik. Jangankan merencanakan membeli mobil seperti tahun lalu; untuk merencanakan mudik saja, kami harus menghitung sangat-sangat cermat. Jangankan untuk bongkar rumah, membeli gerendel pintu agar bisa dikunci saja kami tidak bisa. Termasuk ketika kami akhirnya harus memupus rencana mudik.
Maklum rejeki tahun ini ‘tidak sederas’ tahun lalu. Sehingga kami harus melakukan ekstra hemat. Jika ditanya orang, “Mudik?”. Jawab kami: “rencananya tidak!” Kami berusaha tetap tersenyum meski getir.
Apa yang terjadi pada kami saat ini, tidak perlu orang tahu. Termasuk ketika kami harus membuat rencana memberikan THR kepada pembantu, keluarga pembantu, mertua, orang tua, dan saudara-saudara. Semua dihitung cermat. Dan sedihnya, tidak ada peningkat jumlah atau nilai THR tahun ini secara nominal, dibanding tahun lalu. Tetapi jika dilihat dari nilainya, THR sekarang secara prosentase sangat besar. Sebab ia dikeluarkan saat kami sangat-sangat harus berhemat!
Jadi THR-THR itu kami keluarkan untuk membuat handai taulan kami tersenyum. Karena dalam lubuk hati, mendapatkan THR itu pasti membanggakan dan mengharapkan.
Saya sendiri untuk lebaran kali ini tidak bisa membeli apa-apa (baju baru, maksudnya). Istri juga demikian, hanya sempet membeli sepasang sepatu karena yang lama sudah sangat ‘aus’. Anak saya yang pertama membeli satu stel, dan anak yang kedua justru hanya membeli jaket. Semua itu kami beli dengan menggunakan kartu kredit. Karena uang yang ada dalam tangan kami sangat2 terbatas. Untuk membayarnya, mudah-mudahan ada rejeki pasca lebaran ini.
Acara mudik sebenarnya tidak dipending sepenuhnya. Binda akhirnya dikirim ke Banten untuk menemani mertua berlebaran supaya tidak terlalu kesepian. Kami bertiga (Saya, istri, dan Javid—anak ke-2) di sini saja menikmati siklus kehidupan yang selalu berputar. Terima kasih, Allah. Lebaran tahun ini memberikan kesadaran kepada kami bahwa hidup itu ibarat roda berputar. []

Lalakon Mudik


Binda dan Javid.
Kadang saya juga menulis dengan basa Sunda. Bahasa Ibu.
berikut adalah catatan mengenai mudik.
***
Nalika jiwa-jiwa ieu lumengis nandangan kanyeri anu teuing ku naon sababna. Mulangkeun sagala rasa ka Dzat anu Maha sagala, ngajadikeun lalakon spiritual anu pinuh makna. Sapertos naon anu diunggelkeun ku Allah dina firman-Na: ”Yeuh...jiwa-jiwa anu mutmainnah! Geura balik deui aranjeun ka Dzat anu Maha Miara tur Mulasara!” Sigana, rada kitu lalakon kuring jeung kulaarga mudik teh.
I
Tadina, niat kuring mudik teh ngan saeutik. Estu nyerahkeun ka taqdir wungkul. Naon sabab? Saperti anu geus biasa, mun urang kasebut mudik, lain ngan mawa diri jeung kulawarga wungkul, tapi anu teu eleh penting oge nyaeta mawa babawaan, kayaning oleh-oleh, jeung saeutik rejeki keur bagikeuneun.
Tah, kusabab taun ieu rejeki teu saperti anu dipiharep, estu ngan cukup jang hirup sakulawarga wungkul, mangkana rencana mudik dileutikkan niatna. Anging, mun aya kajadian luar biasa: conto ngadadak kuring meunang rejegi gede.
Tapi, kusabab sumerah kana taqdir tea, mudik anu niatna ngan saencret teh, kalah jadi. Malah leuwih luar biasa deui, nyaeta kuring mudik rada nekad: make motor! Hiji acara anu boro-boro karencanakeun, kabayangkeun oge henteu.
Poe jumaah, isuk-isuk pamajikan maksa mudik. Sok sanajan sadar yen waragad ’penunjang’na geus ipis. Utang-itung dana anu aya, keukeuh teu cukup bae.
Akhirna, mudik diputuskeun jadi. Isuk harita, teu kudu babawaan. Saaya-aya jeung bener-bener saayana. Teu leuwih; teu kurang.
Kencling indit ninggalkeun imah. Sasalaman ka tatangga anu rada heran sabab maranehna mah apalna kuring moal mudik. Karek dua puluh lengkah, Javid, budak anu kadua bari can 2 taun teh, balik kana panto pager. Digebreg-gebregkeun bari nyebut-nyebut ”motor...motor...”. Hoyong make motor cenah. Bari jejeritan. Duh...
Ninggali panon beureum bari rambisak kitu, hate leeh. Teu tega. Akhirna konci panto dibuka deui. Rap make jaket kulit anu biasa dipake mun naek motor. Lep, helm dipake. Kitu deui pamajikan. Kantong eusi baju diselapkeun di hareup. Ku bismillah, akhirna kuring ngabiur ka Banten. Peta teu kabawa; kitu deui cai, atawa kadaharan. Estu suwung. Padahal, tadi peuting teu sahur.
II
Di luhureun Nouvo Z warna beureum, tilu jiwa ngabelesat meupeuskeun langit anu beuki panas. Panon poe mimiti nyekeutkeun teureuhna, saolah-olah nguji diri anu keur konsentrasi di jalas aspal Bogor-Tangerang.
Untung, angin darehdeh. Leungeuna teu elat mepende. Nyingraikeun lalangse panas anu ngaganggu paninggali. Javid di tukang anu kaapait ku kuring jeung pamajikan, estu tibra. Diparende ku sora motor anu ngaberung melewung patarik-tarik jeung angkot, beus, katur motor sejen.
Untung, poe eta teu saperti dina berita. Anu ngagambarkeun rebuan ’pemudik’ make motor bari pinuh, teu kanyataan. Euweuh rombongan. Nu aya hiji dua pemudik anu silih geseh posisi di jalan.
Jalan anu sepi beuki nandeskeun jalan kuring sakulawarga. Parung dirarung; Tangerang diliwat. Balaraja diseak. Serang kota disebrut. Dua jam leuwih, diselang ku istirahat dua kali. Akhirna Nouvo Z anu mawa kuring kudu reureuh. Pasrah dina kawasana pangeran. Masrahkeun diri di Masjid Baros, anu warnana hejo langit.
Awak jibreg ku kesang. Tapi jiwa gumbira. Beuki deukeut jarak, siga rek tepung jeung Gusti. Dina kasadaran anu aya, kuring ibadah jum’at sakalian istirahat.
Cai anu ngocor maseuhan benget, cacap tepi kana hate. ”Duh gusti....sok sanajan ieu cai ngan maseuhan kulit jeung pori-pori....tapi karaosna saperti ngeueman diri.”
Asana, ceuk rarasaan, eta wudlu pangnikmatna anu karasa ku kuring sapanjang sok wudlu. Bayangkeun, kapanasan mang jam-jam. Terus kabaseuhan. Teu asa saperti besi dileob, tapi saperti buka magrib sanggeus kapanasan sapopoe.
III
Ba’da jum’at, kuring neruskeun perjalanan sesa. Hawa mimiti tiis. Maklum, kandaraan teu saperti di Jakarta atawa Bogor anu geus nyababkeun global warming alias pamanasan global tea. Tapi beuki lila, cuaca bet aleum. Duh, tanda naon ieu teh gusti?
Gebret hujan, kuring sempet eureun sababaraha kali. Akhirna, ku sabab hujan can katengen eureuna, kuring ngabiur terus meulah eta hujan. Memang budak jeung pamajikan kahujanan. Tapi, ceuk pamikir kuring, masih penting keneh geura anjog batan katiisan di jalan.
Akhirna, celak-celak di antara keclakna hujan kuring ampir tepi katujuan. Siga jalma anu rek balik kaasal, kacape sanggeus ampir 5 jam kuring ngaberung di luhureun motor, laas. Kaganti ku kabungah. Beuki deukeut, asa beuki eunteup kana gerbang harepan. Bungangang teu kawadahan.
Memang, Gusti anu ngaguratkeun taqdir. Kuring teu apal yen motor anu mawa kuring teh geus teu disetir deui ku leugeun kuring anu leuleus, tapi ku kersana kakawasaan Allah.
Dina motor, kuring ngabeng malikkeun diri. Masrahkeun sagala, kana kersana Gusti

Rabu, 16 Juni 2010

Keajaiban-keajaiban


Tidak terasa, saya sudah menikah lebih dari sekitar 8 tahun. Belum cukup tua memang. Tapi, ternyata cukup lama juga mengayuh rumah tangga ini. Khususnya untuk saya sendiri.
Hasilnya, 2 malaikat kecil yang lucu-lucu dan indah sudah ada disamping saya. Kadang, menemani mereka tumbuh adalah sebuah keindahan tersendiri. Setiap saat, saya bisa mengamati apa yang terjadi pada Binda (anak saya yang ke-1) dan Javid (anak saya yang ke-2).
Berikut adalah catatan saat Binda masih 4,5 tahun dan Javid masih 1,5 tahun waktu itu. Tulisan ini dilatari oleh temuan-temuan tiap hari yang mengagumkan.
***
Binda (4,5 tahun), saat ini sudah menjadi pribadi yang memiliki pilihan-pilihan. Seorang negosiator, tapi juga sangat rasional. Kadang kami berdua kewalahan menghadapi omongannya. Menurut ibunya, agar Binda mengikuti apa yang kita mau, argumentasinya harus dikalahkan. Bayangkan, saya harus berdebat hebat dengan anak kecil yang kata-katanya masih terbatas. Wah, jika sudah begini, kayak kuliah di kelas-kelas filsafat saja.
Apalagi, di rumah, buat anak-anak kami disediakan beragam buku. Kami beruntung bisa mengelola anak-anak supaya tidak terlalu dekat dengan televisi. Mahluq yang menyeramkan itu, saat ini sudah hampir menggantikan peran orang tua seperti kami. Apalagi jika kita berkubang pada alasan bahwa kita sibuk di luar. Wah...makin mantep deh.
Nah, dengan seringnya dibacakan buku-buku itu (anak saya belum bisa membaca meski sudah 4,5 tahun), maka pengetahuan mereka sangat cepat bertambah. Apalagi Binda selalu menggunakan pertanyaan yang awalannya mengapa. Makin panjang deh jawabannya.
Sedangkan Javid (1,5 tahun) pun sudah mulai punya banyak kata-kata. Ia sudah bisa bilang “mau”, “nggak”, “hoyong”, maupun mengangguk (jika ia setuju) dan menggelengkan kepala (jika tidak mau sesuatu). Menurut pengamatan kami, Javid memiliki pribadi yang sensitif. Misalnya, ia akan lebih sakit hati jika dihardik dengan kata-kata yang menyentuh perasaannya, ketimbang dipukul misalnya.
Kadang kami kelepasan. Maksudnya sih hanya mengatakan Javid jangan!, tapi bagi dia, itu jauh lebih menyakitkan ketimbang kita larang dengan gerakan. Begitu juga dengan kakaknya. Kadang mereka berantem (wuhh). Tapi, meski dia masih kecil, Javid melawan. Sedangkan jika kakaknya bilang: “Teteh tidak mau lagi main sama Javid!” Baru deh ia menangis!
***
Ah Anakku. Keajaiban tiada henti selalu ada pada kalian.

Sang Pahlawan


Anak-anakku,
Berikut adalah kisah Binda sewaktu kecil. Binda yang jika saya pulang malam selalu memberikan semangat meski fisik sudah lelah.
Berikut catatan saya tentang peristiwa ini.

Setiap pulang ke rumah sehabis menunaikan tugas-kerja, saya selalu tersenyum jika akan tiba ke pintu pagar. Terlebih jika malam masih belum terlalu larut. Bisa dipastikan bahwa anakku yang pertama langsung membuka gordeng begitu mendengar suara motorku sampai. Begitu melihat benar bahwa yang datang adalah bapaknya, seperti biasanya, ia langsung melompat-lompat dan berteriak: “Abi dongkap...abi dongkap..(Bapak datang....Bapak datang...)” Katanya gembira.
Hal itu terus dilakukannya tiap hari, tentu asal saya datang tidak terlalu larut saja.
Begitu masuk ke dalam, pertanyaan serupa yang juga sering diulanginya adalah:
“Abi, beunang heunteu kipayahna dinten ieu? (Bapak, rejekinya hari ini dapat tidak?” Katanya lagi.
***
‘Kipayah” adalah istilah dalam basa Sunda untuk menunjukkan nafkah atau rejeki. Hal ini tercermin dalam kalimat berikut:
“Kuring indit nyiar kipayah”, artinya, “Saya pergi mencari nafkah”.
***
Namun bagi anak saya yang ini, kipayah dipahami sederhana saja” oleh-oleh atau buah tangan.
Memang, setiap pulang kerja, saya selalu menyempatkan diri untuk membawa sekedar buah tangan bagi anak-anak saya ini. Kadang hanya pisang, jeruk, atau apa saja. Dan jika saya membawanya, dia langsung berteriak-teriak:
“Ibu...Abi dinten ieu kipayahna beunang...(Ibu, hari ini Bapak mendapat rejeki!)” Katanya sambil meraih bungkusan itu dari tangan saya dan menyerahkannya kepada ibunya yang tersenyu.
***
Dalam posisi seperti ini, saya merasa bahwa saya adalah pahlawan. Pahlawan yang memenangkan pertarungan untuk membela sebuah kebesaran dan kesucian yang indah: keluarga. Di keluarga ini, dua mutiara hidup buah kasih kami selalu setia menanti bapaknya pulang.
Jika sudah begini, terutama ketika ditugaskan keluar kota, bayang-bayang indah anak saya yang sedang menanti bapaknya pulang selalu membayang. Sehingga, jika sedang jauh, kerinduan untuk menjumpai mereka meledak-ledak.
Ah anakku...semoga pahlawanmu ini selalu tetap jaya!

Rabu, 02 Juni 2010

Cita-cita


Anakku,
Hal yang sangat membanggakan ketika memiliki kalian adalah memaknai cita-cita. Jika dulu saya ingin berkeluarga, sekarang ingin membesarkanmu dengan indah. dan besok, saya ingin menjadikanmu pribadi yang sukses.

Berikut adalah catatan saya tentang cita2 ini.

Beberapa orang selalu menanyakan dengan pertanyaan yang sama dan berulang: apa cita-citamu selepas ini? Apa rencanamu berikutnya, dll. Pokoknya banyak. Saya berprasangka baik saja, bahwa mereka, para penaya itu merupakan orang-orang yang hidupnya amat terencana, nyaris sistematis, dan selalu tepat dengan target yang ingin dicapai. Saya angkat topi pada mereka, sebab selain mereka adalah orang-orang yang mampu bergelut dengan takdir, juga orang-orang yang mampu mengalahkannya.

Saya bisa dibilang berbeda. Saya merasa, setelah beberapa kali menjumpai kenyataan, kehendakku bukan apa-apa dibanding kehendak-Nya; keinginanku jika ada garis-Nya maka akan menjadi keinginan-Nya. Dengan bahasa kasar, saya tipe orang yang sangat-sangat pasrah dengan takdir atau apa yang digariskan Tuhan.

Pendapat saya ini pasti dibantah banyak orang. Sebab saya seperti orang yang apatis, tanpa emosi, dll. Tapi bagi saya, hal ini dikarenakan sejarah hidup yang menjelaskannya, betapa kita tidak pernah bisa meraih sesuatu tanpa sedikitpun intervensi-Nya.

Dulu, keinginan saya dipupuk sejak SD. Keluargaku selalu mengira-ngira bahwa saya akan menjadi “A”, “B”, atau “C”. Akhirnya, karena terpengaruh teman-teman dan keluarga itu, saya juga membangun cita-cita itu meski hanya dalam hati. Saya belajar rajin, membaca buku pelajaran dan yang berhubungan dengan itu. Saya keras sekali, terkadang sampai bangun tengah malam hanya untuk itu.

Untuk menggapai cita-cita saya yang tinggi itu, saya sudah bertanya sana sini. Termasuk sekolah mana saja yang harus saya lalui agar bisa sampai ke sana.

Tapi begitu SD lulus, yang terjadi sebaliknya. Dan sejak itu, saya tidak pernah mensistematisasi kehidupan saya. Saya biarkan semua mengalir dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Sebab jika tidak, saya bisa stres dan depresi.

Ketika SD, saya bermaksud ke sekolah A, tapi karena biaya yang tidak ada, semua sekolah saya selalu menyesuaikan. Tidak pernah milih sekolah berdasarkan kualitas dan kehendak emosional maupun intelektual. Semuanya diprinsipkan pada satu: YANG PENTING SEKOLAH.

Jadi apa cita-cita saya?

Jawabannya, mungkin yang terbesar adalah ...ya “membangun cita-cita!”

Kamis, 27 Mei 2010

Surat ke-7: perjalanan mudik (sambungan)


Anakku,
berikut masih dalam cerita mudik.

III. KM 179: Menembus Batas
Javid yang sekian lama terlelap, ternyata sudah bangun. Maka mulailah perjalanan dipenuhi dengan berbagai kuliah. Sebab ia selalu bertanya ini itu. Apalagi Javid punya kebiasaan berdiri di motor untuk melihat dunia luar. Otomatis, pekerjaan istri menjadi dobel. Merayu supaya Javid tidak berdiri, dan menjelaskan setiap pertanyaan yang diajukannya.
Masuk ke persimpangan tiga yang lain, kami mengambil kanan. Petunjuknya adalah saran sang sopir tadi. Ikuti angkot ungu (ia menyebutnya biru!). Dan agaknya perjalanan kami mengarah ke tujuan yang benar.
Baru setelah kira-kira satu setengah jam perjalanan sejak dari Bogor, kami berhenti. Selain untuk mengisi susu Javid oleh ibunya, juga untuk bertanya lagi, sebab kami mendapati lagi pertigaan yang cukup membingungkan.
Kami bertanya kepada dua orang yang sedang ada pada sebuah ruko. Mereka memberikan petunjuk bahwa jika ke kiri, kami akan ke Jasinga. Bisa juga ke Banten, tapi rumit. Sedangkan jika ke kiri, baru bisa ke Serang. Saya memutuskan untuk mengambil yang ke kanan.
Setelah beristirahat sejenak, Javid juga sudah terlihat ceria lagi, perjalanan kami pun dilanjutkan. Kami ke kanan. Terus. Sampai akhirnya kami bertemu lagi dengan pertigaan yang mana di sana banyak kami temui bus-bus besar. Kawatir tersesat, kami bertanya lagi kepada orang yang kebetulan melintas.
Kami mendapatkan info harus ke kiri. Dan kami mengikuti itu. Apalagi, berbarengan dengan kami, melaju sebuah bus yang berlabel “Balaraja”. Kami yakin ini ada di jalan yang benar.
Ketika mendapatkan sebuah warung minuman, kami berhenti. Membeli sebotol MIZONE dan sekota SUSU untuk Javid dan Istri. Agar tidak kehausan dan mengantuk. Maklum, kami tidak membawa minuman dan makanan ketika menuju ke sini tadi. Oh, ya. Istri saya memang sengaja tidak berpuasa. Alasannya selain agar tidak kecapaian, juga karena ia memang sedang menyusui Javid.
Perjalanan dilanjutkan setelah tadi kami mengisi bensi sebesar Rp.5000. Mulailah dalam cuaca yang sangat panas itu kami menelusuri Balaraja, Bitung, dan lain-lain. Saya lupas persisnya. Tapi, kami sempat berhenti dua kali untuk istirahat agar Javid bisa minum air putih dan menetek ke ibunya, sebelum akhirnya kami tiba di Serang.
Hampir memasuki terminal Pakupatan Serang, kami mendapati plang “PANDEGLANG” ke kiri. Kamipun langsung belok ke arah sana. Berarti kami melewati pinggiran Serang untuk menuju ke Pandeglang.
Perjalanan terus ditembus, sementara waktu sudah hampir jam 11. Saya berencana berhenti pada sebuah mesji untuk istirahat sekalian jumatan. Keluarga di Banten sudah mengetahui bahwa kami jadi mudik, namun mereka belum tahu bahwa kami mudik menggunakan sepeda motor.
Ketika melewati Baros, kami mendapatkan orang yang akan jumatan. Sempat berhenti, tapi begitu melihat jam, baru menunjukkan jam 11.18. Terlalu lama nunggu, akhirnya kami berjalan lagi. Sampai akhirnya ada sebuah masjid berwarna biru yang megah dengan pemandian motor mobil di depannya. Di Masjid itulah kami berhenti untuk melepaskan penat dan melakukan shalat jum’at.
Bersambung...............

Rabu, 26 Mei 2010

Surat ke-6: Perjalanan Mudik (sambungan)


II. KM 179: Melewati Suasana Terakhir Ramadlan di Atas Motor
Seperti dikatakan sebelumnya, kami langsung pergi ke Parung. Perjalanan biasa sebab saya kerja di Ciputat. Beruntung, suasana lumayan sepi. Bayangan bakal banyak kendaraan seperti kami, tidak terbukti. Selain itu, motor kami juga sedang ada dalam keadaan vit. Sebab, baru beberapa hari sebelumnya beberapa komponen baru diganti. Ban Depan dan Belakang diganti karena sudah aus bin gundul. Begitu juga ban dalamnya diganti karena sudah banyak tambalan dan robekan. Kanvas rem depan baru diganti; begitu juga lampu dan oli. Jadi, standar kendaraan sudah O.K semua.
Sampai di Parung, suasana macet seperti biasa kami temui. Tapi dibandingkan dengan laporan arus mudik yang sering saya lihat di TV, jelas jauh sekali. Bahkan, dibandingkan dengan suasana macet setiap hari senin jika masa kerja saja, masih jauh lebih baik. Mudah-mudahan ini awal yang bagus bagi sebuah perjalan panjang kami.
Praktis, karena jalanan sepi, Nouvo Z yang saya kendarai dipacu cukup kencang. Kecepatan 80-90 KM/ jam menjadi langganan. Meski kami diisi oleh tiga orang, tapi performance motor tetap bagus. Terlebih jalanan cukup mulus dan tidak banyak belokan. Alhasil, hanya istri dan anak saya yang suka menepuk-nepuk agar kami memelankan laju motor.
Sepanjang perjalanan Bogor-Parung-Tangerang, Javid justru lelap nampaknya. Celoteh dia tidak terdengar. Begitu juga ibunya di belakang yang biasanya harus menjadi guide perjalanan bagi Javid. Maklu, sebagai anak yang sedang masa-masanya bertanya banyak hal, ia akan marah jika tidak mendapatkan jawaban yang baik dan memuaskan. “Ibu naon?” “Ibu ka mana?” adalah pertanyaan Javid yang kerap dilontarkan jika kita menemukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi...ini senyap.
Perlahan-lahan Serpong terlewati, lalu jalanan macet karena melewati Pasar Serpong. Lalu tidak lama kami bertemu dengan simpang tiga. Takut tersesat kami bertanya kepada sopir angkutan kota. Dengan ramah, mereka menjelaskan arah yang kami tanya. “Jika lurus ke sana, anda akan masuk Tangerang Kota. Tapi jika ke kiri, maka akan ke Cikupa. Saran saya, jika mau ke Serang lebih baik ke kiri. Jalannya juga bagus. Sepi lagi!”
Sopir-sopir yang sangat baik. Berbeda dengan kebiasaan yang sering saya temui. Mungkin mereka melihat kami adalah pemudik baru, jadi harus diarahkan dengan benar. Atau ia malaikat penunjuk? Wallau alam.
Kata-kata sepi justru yang kami takut. Bayangan sepi adalah kengerian alas roban yang sering ada perampok. Alhasil, kami memacu lurus. Biarlah ke kota saja!
Tapi istri menyarankan mengapa tidak ke sana saja. Toh masih banyak angkot kok!, katanya. Masuk akal, akhirnya kami balik arah dan setelah dipertigaan itu, kami langsung ambil kiri sesuai saran sopir angkot.
Benar, jalanan sepi. Hanya satu dua angkot yang ada. Kami memacu kecepatan mengikuti arah jalan. Di sisi lain, jalannya enak juga, meski bukan aspal tapi beton. Tapi tidak apa, yang penting ini tidak seperti alas roban. Meski kami harus tetap waspada.
Bersambung.......

Surat ke-5: sebuah perjalan mudik


Anak-anakku,
Satu kali, dalam suasana bulan ramadhan yang waktu sedang ada posisi terbatas secara keuangan, Binda sudah lebih dahulu pergi mudik ke Banten.
Sampai dua hari lagi menjelang lebaran, kami belum bisa mengambil keputusan mudik atau tidak. Sampai akhirnya, seperti bisa kalian baca, kami pulang menggunakan sepeda motor.
Berikut catatannya.

I. KM 179: Awal sebuah perjalanan
Tadinya, rencana mudik ke Banten tidak terlalu direncanakan. Maklum, prediksi-prediksi bakal mendapatkan rejeki yang cukuplah untuk berlebaran di kampung nyaris semua meleset. Apalagi ada beberapa komitmen untuk melakukan pembayaran utang, jadinya dana yang ada dan sedikit itu benar-benar dihemat agar persoalan penunaian janji tidak dilanggar. Sebab jika janji adalah utang, maka jangan sampai menjadi dobel utang, yaitu: janji membayar utang dan utangnya sendiri. Apalagi orang yang membantu dulu ketika kami kepepet benar-benar membantu. Sehingga modal kepercayaan yang demikian besar, akan menjadi sangat memalukan jika sampai dilanggar.
Kami berencana, bahwa hanya jika ada kejadian luar biasa, baru akan mudik. Misalnya tiba-tiba dapat THR besar sehingga cukup untuk biaya ini itu di tempat mudik. Bahkan, THR yang ditunggu sampai hari terakhir masuk kerja itu, tak kunjung muncul batang hidungnya. Walhasil, makin lemaslah tubuh. Sebab yang diharap-harap itu tidak terjadi.
Tapi, tanpa diduga akhirnya mudik jadi juga. Istriku ngotot untuk mudik. Alasannya: BINDA. Ya, Binda anak kami memang telah lebih dahulu ke sana. Beberapa kali, kami berbicara kepadanya akan pergi ke Banten via telpon. Maka demi penunaian janji itulah kami harus pergi mudik ke Banten. Dengan catatan: kami akan hidup sehemat mungkin. Akhirnya mudik kami menjadi lebih luar biasa lagi. Sebab tanpa diduga, kami mudik menggunakan sepeda motor alias mudik by motorcycle.
Sebenarnya mudik dengan berkendaraan sepeda motor itu, sesuai anjuran memang harus ekstra hati-hati. Direncanakan dengan matang, dan sebagainya.
Kami tidak. Satu-satunya alasan menggunakan sepeda motor adalah keinginan Javid pas pergi yang meminta kami menggunakan motor dengan bercucuran airmata. Ketika kami pergi meninggalkan rumah dan sudah bersalaman dengan para tetangga itu, Javid justru turun dari pangkuan dan menuju pagar pintu rumah kami. Ia menggebrak-gebrak pintu pagar sambil mengatakan: motor....motor...dengan suara cadelnya.
Tidak tega, akhirnya kami balik, mengambil jaket dan helmet. Dan...peta yang saya dapat dari sebuah media cetak, justru ketinggalan. Padahal ini kali pertama saya akan membawa motor dalam jarak yang jauh. Selain itu, saya agak meringis ketika menyadari bahwa perjalanan akan menjadi sedemikian berat sebab hari sudah siang (8.30) sehingga pasti perjalanan akan menempuh medan yang panas. Dan...ini juga penting diingatkan: saya malam tadi tidak melakukan makan sahur. Pagi-pagi saja sudah kehausan.....
Dengan “bismillah” kami akhirnya menuju Banten. Sebelumnya saya isi dulu tanki bensin dengan pertamax sebesar Rp. 16.900. Langsung kami menuju ke Parung. Rencananya kami akan melewati rute Tanggerang dan terus ke Serang.
Bersambung................

Senin, 24 Mei 2010

Surat 4: Kisah Javid


Javid, atau Muhammad Kandaga Javid Namaah, namamu sebenarnya sudah ditulis bahkan 3 tahun sebelum kamu lahir. Waktu itu, ketika kakakmu masih berusia 4 bulan di dalam kandungan. Kakakmu yang aktif meski masih janin itu, sering bergerak menyundul-nyundul perut ibumu dengan lucunya. Terutama jika diperdengarkan music klasik seperti Mozart, Vivaldi, dan sebagainya.
Melihat keaktifan sang janin, kami kemudian menyiapkan dua nama: seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan.
Ternyata kakakmu, Binda, lahir lebih dulu. Namun stok nama itu tidak pernah kami hapus dari memori kami. Bahkan, kedua nama yang sudah kami print/ cetak tersebut, tetap menempel sampai sekarang di lemari pakaian kami.
Dan Javid, kamu adalah bayi dengan sejumlah keistimewaan. Bukan masa hamil yang tidak ketahuan awalnya. Sebab ibumu, tau-tau sudah hamil. Entah itu minggu ke-4, ke-6, atau ke-12. Tapi Ibu hamil diketahui setelah terlihat mengalami sensitifitas yang tinggi, mual-mual, dan agak mabuk. Ketika diperiksa, ternyata kamu sudah bersemayam di perut ibu.
Sejak itu, kami memeliharamu. Kakakmu, Binda, sangat senang akan memiliki seorang adik. Tiap bulan kami periksakan kamu ke Bidan. Sampai akhirnya, masa perkiraanmu lahir sudah tiba. Waktu itu, sesuai perkiraan Bidan Kholisoh yang merawatmu, kamu akan lahir setelah lebaran tiba.
Abimu sudah memesan roda bayi ke Mang Dicky yang sesungguhnya Tante Puti pun sedang hamil untuk anak mereka yang kedua: Kia. Mengapa sudah pesen2 roda bayi? Karena berdasarkan hitungan, kamu akan lahir lebih dulu.
Bahkan sehari atau dua hari setelah lebaran, mamah dari Banten sudah tiba. Oh ya, ketika kamu dikandung itu, kami tidak pulang lebaran. Padahal biasanya kami memaksakan diri untuk pulang. Hal ini karena takut terjadi apa-apa di masa lebaran itu.
[bersambung]

Minggu, 23 Mei 2010

Surat3: keindahan tiada henti


Anak-anakku yang hebat,
Sebagai ayah, kadang Abimu juga merasakan hal yang sama dengan ayah-ayah lain di dunia.
Berikut adalah segores catatan tentang beberapa hal mengenai perasaan.
***
Dalam keterbatasanku sebagai seorang bapak muda dengan dua anak, mencari keindahan seperti halnya yang dilakukan oleh kelas menengah dengan mengunjungi berbagai tempat rekreasi, jelas merupakan “barang” langka bin mahal. Bukan hanya masalah harga yang memang selalu membuat dompet ini “berdebar-debar”, namun juga masalah waktu.
Maklum, kerja dari senin sampai sabtu membuat fisik ini serasa “senin-kamis”. Sehingga, hari libur merupakan upaya recovery tubuh agar esok bisa kembali “mencangkul”.
Untung saja, saya didampingi oleh orang-orang yang teramat baik. Mereka adalah Istriku—yang dengan kesabarannya sanggup menemani saya selama ini—dan dua buah hati yang justru menjadi keindahan tersendiri.
Maka, bagi saya, akhirnya mencari keindahan tidak mesti jauh-jauh ke mana. Keindahan akhirnya ada pada mereka yang selalu tersenyum menyambutku. Riang dan menggembirakan, dan menjadi keindahan yang tidak pernah berhenti.
Di mata mereka yang penuh do’a itu, saya menemukan justru tidak sekedar kedamaian, namun juga taman sari kehidupan yang selalu membuat semangat in kembali membara untuk menaklukan hidup.
Memang, saya merasa sampai saat ini belum bisa membahagiakan mereka. Justru mereka yang lebih banyak membahagiakan saya selama ini. Sehingga, setiap rejeki yang saya dapat, saya merasa menjadi sangat berarti. Dan untuk kesabaran mereka semua, saya hanya bisa berkata: maaf, saya belum bisa membahagiakan kalian.

Sabtu, 22 Mei 2010

Surat 2: Bunga yang Tidak Pernah Layu


Anakku,
Catatan berikut adalah keindahan yang kami temukan ketika kalian sebagai malaikat, mewarnai indahnya setiap perjalan kami.
***
Sejak anak yang kedua lahir, ada yang berbeda dalam sikap dan perilaku kakaknya. Kadang ia terlihat kekanak-kanakan, namun juga tidak jarang justru sangat dewasa.
Dalam satu tugas dari kantor, saya harus pergi ke luar kota yang tentu saja akan menghabiskan waktu beberapa hari (10 harian). Maka setiap ada kesempatan, saya akan menelpon ke rumah untuk sekedar mengecek keadaan dan bercerita seputar apa yang sedang dikerjakan. Ya, sekaligus melipuri kekangenan kepada keluarga.
Tapi justru di sinilah semuanya bermula.
Dalam satu perbincangan di telpon bersama anakku itulah, kutemukan keindahan.
Anak saya bilang, “Abi, kok perginya lama sekali!”
Jawab saya, “Pan sedang mencari nafkah. Buat Ibu, Dede (adiknya), dan Binda.”
“Iya, tapi cepat pulang...Binda kangen!” katanya menggemaskan.
“Iya. Binda jaga Dede ya!”.
“Iya. Tapi Binda punya kejutan buat Abi!”, katanya.
“Apaan tuh,” Kata saya memancing.
“Makanya, Abi cepat pulang!”, katanya lagi.
“Iya...” kemudian telpon beralih ke Istriku.
“Siapa yang ngajarin begitu.” Tanya saya kepada Istri.
“Nggak tau. Dia sendiri yang bereksplorasi begitu!” Katanya.
“Apa kejutannya?”
“Nggak tau!”.
***
Kejadian bahwa ia menjanjikan kejutan itu terus diucapkannya berulang-ulang setiap kali saya menelpon dia. Akhirnya, saya terpancing juga. Namun, seperti sepakat, istriku juga enggan menceritakannya.
Akhirnya, begitu tugas-tugas kantor beres, saya segera meuncur pulang, setelah terlebih dahulu memberitahukan bahwa sebentar lagi saya akan tiba.
Ternyata anak saya menunggu. Namun karena sudah terlalu larut, ia akhirnya ketiduran juga. Ia tertidur justru ketika saya sudah hampir sampai.
Begitu sampai, yang pertama kutanya adalah anakku yang telah membuat penasaran itu. Kata istriku, ia baru saja tidur karena terlalu capai mempersiapkan kejutan untuk saya, katanya.
Saya tanya, apa kejutan yang ia siapkan untuk saya. Istriku kemudian menunjuk ke meja kerja yang ada komputernya. Di sana, ada sebuah vas bunga dari cangkir tempat biasa anakku minum. Di atasnya, ada banyak bunga yang tidak beraturan disusun, cukup rapi untuk anak usia 3 tahun setengah.
Saya terharu. Apalagi istriku bilang bahwa ia sempat menyiapkannya 3 hari yang lalu. Ia memetik sendiri bunga-bunga itu dan menyusunnya. Dan semua itu adalah inisiatif sendiri. Namun, karena bunga-bunga itu sudah layu, anakku kembali bekerja keras memetik lagi bunga-bunga yang baru. Bahkan, ia sendiri yang menyimpannya di sana.
Saya pandangi wajah anak saya. Anakku yang kedua sedang lelap. Sedang yang pertama, sepertinya tidak begitu. Nampak ada wajah penantian. Dan mungkin itu adalah saya. Bapaknya.
Begitu kutatap dalam-dalam, ternyata ia menyadari kehadiran saya. Ia bangun. Dan begitu melihatku, ia tersenyum dan langsung bertanya,
“Abi sudah lihat kejutan dari Binda?” Katanya.
“Sudah. Bagus sekali. Terima kasih ya!” Kataku semakin haru.
Mendengar ribut-ribut, anakku yang orok kemudian bagun. Jadilah, dari jam sebelasan malam itu, kami bertiga bercanda riang melepas kangen.
***
Setelah tiga hari, bunga itu layu. Kering. Istriku kemudian membereskannya. Tapi, anakku, yakinlah, bahwa bunga cinta darimu, tidak akan pernah layu di dalam gelora jiwa dan semangatku.

Bogor, medio agustus 2006

Surat1: Binda Lahir


Surat ke 1
Anakku, Binda.
Tahukah ketika kamu lahir mengisi hari-hari kami. Saat itu, kami masih tinggal di rumah orang tua, Abimu tengah berkutat menyelesaikan pendidikannya. Beruntung, kamu lahir dalam sebuah keluarga yang indah. Keluarga yang selalu menyambutmu meski hari pertama kamu tiba di rumah setelah semalam menginap di klinik tempat kamu dilahirkan, tangismu memecah malam.
Ibu dan Abimu yang kelelahan, hanya bisa berbaring mendengar kamu yang menangis lapar. Maklum, hari pertama kamu lahir, makanan pertamamu hanyalah air gula yang disuapi mamah sedikit sedikit. Kami tahu, engkau lapar. Tapi kami kelelahan. Dan air susu ibumu belum keluar.
Maafkan kami Binda, jika saat itu kami yang bersedih tetapi tidak berbuat banyak.
Namun demikian, sehari setelah itu, ketika air susu ibumu akhirnya bisa keluar, ada banyak kebahagiaan yang melukisi hari-hari kami. Sewaktu Abimu pertama kali memandikanmu dalam sebuah jolang yang berwarna ungu itu, engkau demikian cantik dan menggemaskan.
Dan hari-hari indah itu terus menjadi warna yang menorehkan sejarah pada kehidupan kami. Engkaulah malaikat kami, yang hadir menjadi penyemangat hidup. Dan karena engkau pula, Abimu semangat untuk menyelesaikan pendidikannya. Tesis yang sudah terbengkalai beberapa bulan itu, akhirnya bisa dengan cepat diselesaikan.
Usiamu 3 bulan waktu akhirnya, Abimu diuji untuk menjadi seorang Magister Sosiologi Pedesaan, di hadapan para penguji hebat: Prof (dulu belum Prof.) Dr. Endriatmo Soetarto MA., Dr. Titik Sumarti MS., Drs. Nanang Tahqiq MA., dan Dr. M.T. Felix Sitorus.
Keempat guru hebat tersebut telah menjadi penyebab Abimu menjadi Magister di IPB.
Abimu ini lulus pada sidang tesis yang berjudul: “ Hubungan dan Refleksi Teologi terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Pesantren Pedesaan Kampung Garogol Garut”, pada tanggal 15 Januari 2002.
Sebuah kehebatan buat abimu telah terlesaikan. Dengan keluarbiasaanmu, Abimu menjadi seorang sarjana S2. Sebuah anugrah yang masih langka di keluarga besar kami.