Kehebatan Ayah, Mengapa?

Tidak bermaksud sombong, jika blog ini dijuduli dengan "Kehebatan Ayah". Kehebatan ayah yang dimaksud dalam blog ini juga tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan Ibu yang juga hebat. Kehebatan seorang ayah justru karena ia didampingi seorang ibu yang hebat.
Kehebatan adalah semangat yang selalu menjadikan keseharian begitu indah. Susah, senang, tantangan, harapan, dan segala hal yang kerap menyapa kehidupan kita, adalah pemantik kita menjadi hebat.
Tulisan di blog ini merupakan catatan sehari-hari kami tentang segala hal yang berkait dengan keluarga kami. Selamat membaca, semoga bisa menemukan mutiara di dalamnya .

Kamis, 01 Juli 2010

Seperti Roda (mobil) berputar


Mungkin kalian masih ingat bagaimana kita pernah memiliki mobil starlet. Berikut ceritanya:
***

Beberapa Tahun lalu, menjelang lebaran kami disibukkan dengan rencana mau membali sebuah mobil. Mobil bekas yang kami cari harus bisa memenuhi criteria: enak, tidak terlalu murahan, jika dijual kembali harganya masih bagus, dan yang terpenting cocok dengan kantong kami.
Ternyata untuk mendapatkan mobil seperti kriteria di atas tidak mudah. Pencarian mulai dilakukan di internet. Berbagai info dan tips membeli mobil bekas ditelaah dengan seksama. Hasilnya, berlembr-lembar tulisan tentang itu. Kemudian setiap naskah itu didiskusikan dengan istri. Serius banget, deh.
Setelah mendapatkan berbagai info tentang mobil itu, baru kemudian membuat list mengenai mobil yang cocok dan mendekati. Lalu daftar penjualnya. Puluhan show room ditelepon dan didatangi; puluhan orang yang memajang iklan “mobil dijual” juga ditelepon. Pokoknya dihubungi lah.
Lucunya, itu hanya modal berani saja. Sebab duit di tangan belum ada.Namun sudah komitmen dari sebuah lembaga keuangan untuk menyediakan dana itu. Pokoknya, kami mencari saja.
Sepuluh hari menjelang idul fitri kami harus makin fokus. Iseng-iseng sewaktu pulang mengajar di Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ada sebuah mobil Starlet dipajang pada sebuah bengkel dengan tulisan “dijual”. Didekati, ditanya, sepertinya cocok. Starlet SE 1991, limted edition.
Singkat cerita mobil itu akhirnya bisa dibeli, kira-kira 4 hari sebelum lebaran.
Karena belum bisa menyetir sendiri, mertua saya yang membawa mobil itu. Termasuk untuk mudik ke Banten, lalu ke Garut. Dengan memiliki mobil itu, serasa derajat diri meningkat. Beberapa orang terdengar berdecak. Bayangkan, tidak lama setelah memiliki mobil itu, kami memugar tanah sisi rumah untuk dibuat bangunan baru. Sebelumnya, halaman depan kami dibuatkan carport.
Ada bangga juga sih. Seolah2 di saat banyak orang susah, kami malah ketiban rejiki. Agak sombong memang. Tapi itulah perasaan jujur kami. Maafkan kami ya Allah. Sebab tanpa kuasamu, rejeki itu tidak akan sampai kepada kami.
Kesombongan itulah yang kemudian ditegurkan Allah kepada kami. Karena untuk satu keperluan, kami memerlukan dana besar. Dan hasil kesepakatan, mobil itu kami jual kembali. Beruntung Starlet cantik itu tidak terlalu jatuh. Ada sesal, memang. Tapi mau bagaimana lagi, padahal saya sudah cukup lancar membawa mobil. Dan dengan kendaraan itu, kami menikmari sekali saat harus belanja, mengantar saudara ke bis, dan sebagainya.
II
Berbeda dengan tahun ini. Terbalik. Jangankan merencanakan membeli mobil seperti tahun lalu; untuk merencanakan mudik saja, kami harus menghitung sangat-sangat cermat. Jangankan untuk bongkar rumah, membeli gerendel pintu agar bisa dikunci saja kami tidak bisa. Termasuk ketika kami akhirnya harus memupus rencana mudik.
Maklum rejeki tahun ini ‘tidak sederas’ tahun lalu. Sehingga kami harus melakukan ekstra hemat. Jika ditanya orang, “Mudik?”. Jawab kami: “rencananya tidak!” Kami berusaha tetap tersenyum meski getir.
Apa yang terjadi pada kami saat ini, tidak perlu orang tahu. Termasuk ketika kami harus membuat rencana memberikan THR kepada pembantu, keluarga pembantu, mertua, orang tua, dan saudara-saudara. Semua dihitung cermat. Dan sedihnya, tidak ada peningkat jumlah atau nilai THR tahun ini secara nominal, dibanding tahun lalu. Tetapi jika dilihat dari nilainya, THR sekarang secara prosentase sangat besar. Sebab ia dikeluarkan saat kami sangat-sangat harus berhemat!
Jadi THR-THR itu kami keluarkan untuk membuat handai taulan kami tersenyum. Karena dalam lubuk hati, mendapatkan THR itu pasti membanggakan dan mengharapkan.
Saya sendiri untuk lebaran kali ini tidak bisa membeli apa-apa (baju baru, maksudnya). Istri juga demikian, hanya sempet membeli sepasang sepatu karena yang lama sudah sangat ‘aus’. Anak saya yang pertama membeli satu stel, dan anak yang kedua justru hanya membeli jaket. Semua itu kami beli dengan menggunakan kartu kredit. Karena uang yang ada dalam tangan kami sangat2 terbatas. Untuk membayarnya, mudah-mudahan ada rejeki pasca lebaran ini.
Acara mudik sebenarnya tidak dipending sepenuhnya. Binda akhirnya dikirim ke Banten untuk menemani mertua berlebaran supaya tidak terlalu kesepian. Kami bertiga (Saya, istri, dan Javid—anak ke-2) di sini saja menikmati siklus kehidupan yang selalu berputar. Terima kasih, Allah. Lebaran tahun ini memberikan kesadaran kepada kami bahwa hidup itu ibarat roda berputar. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar