Kehebatan Ayah, Mengapa?
Kehebatan adalah semangat yang selalu menjadikan keseharian begitu indah. Susah, senang, tantangan, harapan, dan segala hal yang kerap menyapa kehidupan kita, adalah pemantik kita menjadi hebat.
Tulisan di blog ini merupakan catatan sehari-hari kami tentang segala hal yang berkait dengan keluarga kami. Selamat membaca, semoga bisa menemukan mutiara di dalamnya
Rabu, 26 Mei 2010
Surat ke-6: Perjalanan Mudik (sambungan)
II. KM 179: Melewati Suasana Terakhir Ramadlan di Atas Motor
Seperti dikatakan sebelumnya, kami langsung pergi ke Parung. Perjalanan biasa sebab saya kerja di Ciputat. Beruntung, suasana lumayan sepi. Bayangan bakal banyak kendaraan seperti kami, tidak terbukti. Selain itu, motor kami juga sedang ada dalam keadaan vit. Sebab, baru beberapa hari sebelumnya beberapa komponen baru diganti. Ban Depan dan Belakang diganti karena sudah aus bin gundul. Begitu juga ban dalamnya diganti karena sudah banyak tambalan dan robekan. Kanvas rem depan baru diganti; begitu juga lampu dan oli. Jadi, standar kendaraan sudah O.K semua.
Sampai di Parung, suasana macet seperti biasa kami temui. Tapi dibandingkan dengan laporan arus mudik yang sering saya lihat di TV, jelas jauh sekali. Bahkan, dibandingkan dengan suasana macet setiap hari senin jika masa kerja saja, masih jauh lebih baik. Mudah-mudahan ini awal yang bagus bagi sebuah perjalan panjang kami.
Praktis, karena jalanan sepi, Nouvo Z yang saya kendarai dipacu cukup kencang. Kecepatan 80-90 KM/ jam menjadi langganan. Meski kami diisi oleh tiga orang, tapi performance motor tetap bagus. Terlebih jalanan cukup mulus dan tidak banyak belokan. Alhasil, hanya istri dan anak saya yang suka menepuk-nepuk agar kami memelankan laju motor.
Sepanjang perjalanan Bogor-Parung-Tangerang, Javid justru lelap nampaknya. Celoteh dia tidak terdengar. Begitu juga ibunya di belakang yang biasanya harus menjadi guide perjalanan bagi Javid. Maklu, sebagai anak yang sedang masa-masanya bertanya banyak hal, ia akan marah jika tidak mendapatkan jawaban yang baik dan memuaskan. “Ibu naon?” “Ibu ka mana?” adalah pertanyaan Javid yang kerap dilontarkan jika kita menemukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi...ini senyap.
Perlahan-lahan Serpong terlewati, lalu jalanan macet karena melewati Pasar Serpong. Lalu tidak lama kami bertemu dengan simpang tiga. Takut tersesat kami bertanya kepada sopir angkutan kota. Dengan ramah, mereka menjelaskan arah yang kami tanya. “Jika lurus ke sana, anda akan masuk Tangerang Kota. Tapi jika ke kiri, maka akan ke Cikupa. Saran saya, jika mau ke Serang lebih baik ke kiri. Jalannya juga bagus. Sepi lagi!”
Sopir-sopir yang sangat baik. Berbeda dengan kebiasaan yang sering saya temui. Mungkin mereka melihat kami adalah pemudik baru, jadi harus diarahkan dengan benar. Atau ia malaikat penunjuk? Wallau alam.
Kata-kata sepi justru yang kami takut. Bayangan sepi adalah kengerian alas roban yang sering ada perampok. Alhasil, kami memacu lurus. Biarlah ke kota saja!
Tapi istri menyarankan mengapa tidak ke sana saja. Toh masih banyak angkot kok!, katanya. Masuk akal, akhirnya kami balik arah dan setelah dipertigaan itu, kami langsung ambil kiri sesuai saran sopir angkot.
Benar, jalanan sepi. Hanya satu dua angkot yang ada. Kami memacu kecepatan mengikuti arah jalan. Di sisi lain, jalannya enak juga, meski bukan aspal tapi beton. Tapi tidak apa, yang penting ini tidak seperti alas roban. Meski kami harus tetap waspada.
Bersambung.......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar