Kehebatan Ayah, Mengapa?

Tidak bermaksud sombong, jika blog ini dijuduli dengan "Kehebatan Ayah". Kehebatan ayah yang dimaksud dalam blog ini juga tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan Ibu yang juga hebat. Kehebatan seorang ayah justru karena ia didampingi seorang ibu yang hebat.
Kehebatan adalah semangat yang selalu menjadikan keseharian begitu indah. Susah, senang, tantangan, harapan, dan segala hal yang kerap menyapa kehidupan kita, adalah pemantik kita menjadi hebat.
Tulisan di blog ini merupakan catatan sehari-hari kami tentang segala hal yang berkait dengan keluarga kami. Selamat membaca, semoga bisa menemukan mutiara di dalamnya .

Sabtu, 22 Mei 2010

Surat 2: Bunga yang Tidak Pernah Layu


Anakku,
Catatan berikut adalah keindahan yang kami temukan ketika kalian sebagai malaikat, mewarnai indahnya setiap perjalan kami.
***
Sejak anak yang kedua lahir, ada yang berbeda dalam sikap dan perilaku kakaknya. Kadang ia terlihat kekanak-kanakan, namun juga tidak jarang justru sangat dewasa.
Dalam satu tugas dari kantor, saya harus pergi ke luar kota yang tentu saja akan menghabiskan waktu beberapa hari (10 harian). Maka setiap ada kesempatan, saya akan menelpon ke rumah untuk sekedar mengecek keadaan dan bercerita seputar apa yang sedang dikerjakan. Ya, sekaligus melipuri kekangenan kepada keluarga.
Tapi justru di sinilah semuanya bermula.
Dalam satu perbincangan di telpon bersama anakku itulah, kutemukan keindahan.
Anak saya bilang, “Abi, kok perginya lama sekali!”
Jawab saya, “Pan sedang mencari nafkah. Buat Ibu, Dede (adiknya), dan Binda.”
“Iya, tapi cepat pulang...Binda kangen!” katanya menggemaskan.
“Iya. Binda jaga Dede ya!”.
“Iya. Tapi Binda punya kejutan buat Abi!”, katanya.
“Apaan tuh,” Kata saya memancing.
“Makanya, Abi cepat pulang!”, katanya lagi.
“Iya...” kemudian telpon beralih ke Istriku.
“Siapa yang ngajarin begitu.” Tanya saya kepada Istri.
“Nggak tau. Dia sendiri yang bereksplorasi begitu!” Katanya.
“Apa kejutannya?”
“Nggak tau!”.
***
Kejadian bahwa ia menjanjikan kejutan itu terus diucapkannya berulang-ulang setiap kali saya menelpon dia. Akhirnya, saya terpancing juga. Namun, seperti sepakat, istriku juga enggan menceritakannya.
Akhirnya, begitu tugas-tugas kantor beres, saya segera meuncur pulang, setelah terlebih dahulu memberitahukan bahwa sebentar lagi saya akan tiba.
Ternyata anak saya menunggu. Namun karena sudah terlalu larut, ia akhirnya ketiduran juga. Ia tertidur justru ketika saya sudah hampir sampai.
Begitu sampai, yang pertama kutanya adalah anakku yang telah membuat penasaran itu. Kata istriku, ia baru saja tidur karena terlalu capai mempersiapkan kejutan untuk saya, katanya.
Saya tanya, apa kejutan yang ia siapkan untuk saya. Istriku kemudian menunjuk ke meja kerja yang ada komputernya. Di sana, ada sebuah vas bunga dari cangkir tempat biasa anakku minum. Di atasnya, ada banyak bunga yang tidak beraturan disusun, cukup rapi untuk anak usia 3 tahun setengah.
Saya terharu. Apalagi istriku bilang bahwa ia sempat menyiapkannya 3 hari yang lalu. Ia memetik sendiri bunga-bunga itu dan menyusunnya. Dan semua itu adalah inisiatif sendiri. Namun, karena bunga-bunga itu sudah layu, anakku kembali bekerja keras memetik lagi bunga-bunga yang baru. Bahkan, ia sendiri yang menyimpannya di sana.
Saya pandangi wajah anak saya. Anakku yang kedua sedang lelap. Sedang yang pertama, sepertinya tidak begitu. Nampak ada wajah penantian. Dan mungkin itu adalah saya. Bapaknya.
Begitu kutatap dalam-dalam, ternyata ia menyadari kehadiran saya. Ia bangun. Dan begitu melihatku, ia tersenyum dan langsung bertanya,
“Abi sudah lihat kejutan dari Binda?” Katanya.
“Sudah. Bagus sekali. Terima kasih ya!” Kataku semakin haru.
Mendengar ribut-ribut, anakku yang orok kemudian bagun. Jadilah, dari jam sebelasan malam itu, kami bertiga bercanda riang melepas kangen.
***
Setelah tiga hari, bunga itu layu. Kering. Istriku kemudian membereskannya. Tapi, anakku, yakinlah, bahwa bunga cinta darimu, tidak akan pernah layu di dalam gelora jiwa dan semangatku.

Bogor, medio agustus 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar