Kehebatan Ayah, Mengapa?

Tidak bermaksud sombong, jika blog ini dijuduli dengan "Kehebatan Ayah". Kehebatan ayah yang dimaksud dalam blog ini juga tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan Ibu yang juga hebat. Kehebatan seorang ayah justru karena ia didampingi seorang ibu yang hebat.
Kehebatan adalah semangat yang selalu menjadikan keseharian begitu indah. Susah, senang, tantangan, harapan, dan segala hal yang kerap menyapa kehidupan kita, adalah pemantik kita menjadi hebat.
Tulisan di blog ini merupakan catatan sehari-hari kami tentang segala hal yang berkait dengan keluarga kami. Selamat membaca, semoga bisa menemukan mutiara di dalamnya .

Kamis, 27 Mei 2010

Surat ke-7: perjalanan mudik (sambungan)


Anakku,
berikut masih dalam cerita mudik.

III. KM 179: Menembus Batas
Javid yang sekian lama terlelap, ternyata sudah bangun. Maka mulailah perjalanan dipenuhi dengan berbagai kuliah. Sebab ia selalu bertanya ini itu. Apalagi Javid punya kebiasaan berdiri di motor untuk melihat dunia luar. Otomatis, pekerjaan istri menjadi dobel. Merayu supaya Javid tidak berdiri, dan menjelaskan setiap pertanyaan yang diajukannya.
Masuk ke persimpangan tiga yang lain, kami mengambil kanan. Petunjuknya adalah saran sang sopir tadi. Ikuti angkot ungu (ia menyebutnya biru!). Dan agaknya perjalanan kami mengarah ke tujuan yang benar.
Baru setelah kira-kira satu setengah jam perjalanan sejak dari Bogor, kami berhenti. Selain untuk mengisi susu Javid oleh ibunya, juga untuk bertanya lagi, sebab kami mendapati lagi pertigaan yang cukup membingungkan.
Kami bertanya kepada dua orang yang sedang ada pada sebuah ruko. Mereka memberikan petunjuk bahwa jika ke kiri, kami akan ke Jasinga. Bisa juga ke Banten, tapi rumit. Sedangkan jika ke kiri, baru bisa ke Serang. Saya memutuskan untuk mengambil yang ke kanan.
Setelah beristirahat sejenak, Javid juga sudah terlihat ceria lagi, perjalanan kami pun dilanjutkan. Kami ke kanan. Terus. Sampai akhirnya kami bertemu lagi dengan pertigaan yang mana di sana banyak kami temui bus-bus besar. Kawatir tersesat, kami bertanya lagi kepada orang yang kebetulan melintas.
Kami mendapatkan info harus ke kiri. Dan kami mengikuti itu. Apalagi, berbarengan dengan kami, melaju sebuah bus yang berlabel “Balaraja”. Kami yakin ini ada di jalan yang benar.
Ketika mendapatkan sebuah warung minuman, kami berhenti. Membeli sebotol MIZONE dan sekota SUSU untuk Javid dan Istri. Agar tidak kehausan dan mengantuk. Maklum, kami tidak membawa minuman dan makanan ketika menuju ke sini tadi. Oh, ya. Istri saya memang sengaja tidak berpuasa. Alasannya selain agar tidak kecapaian, juga karena ia memang sedang menyusui Javid.
Perjalanan dilanjutkan setelah tadi kami mengisi bensi sebesar Rp.5000. Mulailah dalam cuaca yang sangat panas itu kami menelusuri Balaraja, Bitung, dan lain-lain. Saya lupas persisnya. Tapi, kami sempat berhenti dua kali untuk istirahat agar Javid bisa minum air putih dan menetek ke ibunya, sebelum akhirnya kami tiba di Serang.
Hampir memasuki terminal Pakupatan Serang, kami mendapati plang “PANDEGLANG” ke kiri. Kamipun langsung belok ke arah sana. Berarti kami melewati pinggiran Serang untuk menuju ke Pandeglang.
Perjalanan terus ditembus, sementara waktu sudah hampir jam 11. Saya berencana berhenti pada sebuah mesji untuk istirahat sekalian jumatan. Keluarga di Banten sudah mengetahui bahwa kami jadi mudik, namun mereka belum tahu bahwa kami mudik menggunakan sepeda motor.
Ketika melewati Baros, kami mendapatkan orang yang akan jumatan. Sempat berhenti, tapi begitu melihat jam, baru menunjukkan jam 11.18. Terlalu lama nunggu, akhirnya kami berjalan lagi. Sampai akhirnya ada sebuah masjid berwarna biru yang megah dengan pemandian motor mobil di depannya. Di Masjid itulah kami berhenti untuk melepaskan penat dan melakukan shalat jum’at.
Bersambung...............

Rabu, 26 Mei 2010

Surat ke-6: Perjalanan Mudik (sambungan)


II. KM 179: Melewati Suasana Terakhir Ramadlan di Atas Motor
Seperti dikatakan sebelumnya, kami langsung pergi ke Parung. Perjalanan biasa sebab saya kerja di Ciputat. Beruntung, suasana lumayan sepi. Bayangan bakal banyak kendaraan seperti kami, tidak terbukti. Selain itu, motor kami juga sedang ada dalam keadaan vit. Sebab, baru beberapa hari sebelumnya beberapa komponen baru diganti. Ban Depan dan Belakang diganti karena sudah aus bin gundul. Begitu juga ban dalamnya diganti karena sudah banyak tambalan dan robekan. Kanvas rem depan baru diganti; begitu juga lampu dan oli. Jadi, standar kendaraan sudah O.K semua.
Sampai di Parung, suasana macet seperti biasa kami temui. Tapi dibandingkan dengan laporan arus mudik yang sering saya lihat di TV, jelas jauh sekali. Bahkan, dibandingkan dengan suasana macet setiap hari senin jika masa kerja saja, masih jauh lebih baik. Mudah-mudahan ini awal yang bagus bagi sebuah perjalan panjang kami.
Praktis, karena jalanan sepi, Nouvo Z yang saya kendarai dipacu cukup kencang. Kecepatan 80-90 KM/ jam menjadi langganan. Meski kami diisi oleh tiga orang, tapi performance motor tetap bagus. Terlebih jalanan cukup mulus dan tidak banyak belokan. Alhasil, hanya istri dan anak saya yang suka menepuk-nepuk agar kami memelankan laju motor.
Sepanjang perjalanan Bogor-Parung-Tangerang, Javid justru lelap nampaknya. Celoteh dia tidak terdengar. Begitu juga ibunya di belakang yang biasanya harus menjadi guide perjalanan bagi Javid. Maklu, sebagai anak yang sedang masa-masanya bertanya banyak hal, ia akan marah jika tidak mendapatkan jawaban yang baik dan memuaskan. “Ibu naon?” “Ibu ka mana?” adalah pertanyaan Javid yang kerap dilontarkan jika kita menemukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi...ini senyap.
Perlahan-lahan Serpong terlewati, lalu jalanan macet karena melewati Pasar Serpong. Lalu tidak lama kami bertemu dengan simpang tiga. Takut tersesat kami bertanya kepada sopir angkutan kota. Dengan ramah, mereka menjelaskan arah yang kami tanya. “Jika lurus ke sana, anda akan masuk Tangerang Kota. Tapi jika ke kiri, maka akan ke Cikupa. Saran saya, jika mau ke Serang lebih baik ke kiri. Jalannya juga bagus. Sepi lagi!”
Sopir-sopir yang sangat baik. Berbeda dengan kebiasaan yang sering saya temui. Mungkin mereka melihat kami adalah pemudik baru, jadi harus diarahkan dengan benar. Atau ia malaikat penunjuk? Wallau alam.
Kata-kata sepi justru yang kami takut. Bayangan sepi adalah kengerian alas roban yang sering ada perampok. Alhasil, kami memacu lurus. Biarlah ke kota saja!
Tapi istri menyarankan mengapa tidak ke sana saja. Toh masih banyak angkot kok!, katanya. Masuk akal, akhirnya kami balik arah dan setelah dipertigaan itu, kami langsung ambil kiri sesuai saran sopir angkot.
Benar, jalanan sepi. Hanya satu dua angkot yang ada. Kami memacu kecepatan mengikuti arah jalan. Di sisi lain, jalannya enak juga, meski bukan aspal tapi beton. Tapi tidak apa, yang penting ini tidak seperti alas roban. Meski kami harus tetap waspada.
Bersambung.......

Surat ke-5: sebuah perjalan mudik


Anak-anakku,
Satu kali, dalam suasana bulan ramadhan yang waktu sedang ada posisi terbatas secara keuangan, Binda sudah lebih dahulu pergi mudik ke Banten.
Sampai dua hari lagi menjelang lebaran, kami belum bisa mengambil keputusan mudik atau tidak. Sampai akhirnya, seperti bisa kalian baca, kami pulang menggunakan sepeda motor.
Berikut catatannya.

I. KM 179: Awal sebuah perjalanan
Tadinya, rencana mudik ke Banten tidak terlalu direncanakan. Maklum, prediksi-prediksi bakal mendapatkan rejeki yang cukuplah untuk berlebaran di kampung nyaris semua meleset. Apalagi ada beberapa komitmen untuk melakukan pembayaran utang, jadinya dana yang ada dan sedikit itu benar-benar dihemat agar persoalan penunaian janji tidak dilanggar. Sebab jika janji adalah utang, maka jangan sampai menjadi dobel utang, yaitu: janji membayar utang dan utangnya sendiri. Apalagi orang yang membantu dulu ketika kami kepepet benar-benar membantu. Sehingga modal kepercayaan yang demikian besar, akan menjadi sangat memalukan jika sampai dilanggar.
Kami berencana, bahwa hanya jika ada kejadian luar biasa, baru akan mudik. Misalnya tiba-tiba dapat THR besar sehingga cukup untuk biaya ini itu di tempat mudik. Bahkan, THR yang ditunggu sampai hari terakhir masuk kerja itu, tak kunjung muncul batang hidungnya. Walhasil, makin lemaslah tubuh. Sebab yang diharap-harap itu tidak terjadi.
Tapi, tanpa diduga akhirnya mudik jadi juga. Istriku ngotot untuk mudik. Alasannya: BINDA. Ya, Binda anak kami memang telah lebih dahulu ke sana. Beberapa kali, kami berbicara kepadanya akan pergi ke Banten via telpon. Maka demi penunaian janji itulah kami harus pergi mudik ke Banten. Dengan catatan: kami akan hidup sehemat mungkin. Akhirnya mudik kami menjadi lebih luar biasa lagi. Sebab tanpa diduga, kami mudik menggunakan sepeda motor alias mudik by motorcycle.
Sebenarnya mudik dengan berkendaraan sepeda motor itu, sesuai anjuran memang harus ekstra hati-hati. Direncanakan dengan matang, dan sebagainya.
Kami tidak. Satu-satunya alasan menggunakan sepeda motor adalah keinginan Javid pas pergi yang meminta kami menggunakan motor dengan bercucuran airmata. Ketika kami pergi meninggalkan rumah dan sudah bersalaman dengan para tetangga itu, Javid justru turun dari pangkuan dan menuju pagar pintu rumah kami. Ia menggebrak-gebrak pintu pagar sambil mengatakan: motor....motor...dengan suara cadelnya.
Tidak tega, akhirnya kami balik, mengambil jaket dan helmet. Dan...peta yang saya dapat dari sebuah media cetak, justru ketinggalan. Padahal ini kali pertama saya akan membawa motor dalam jarak yang jauh. Selain itu, saya agak meringis ketika menyadari bahwa perjalanan akan menjadi sedemikian berat sebab hari sudah siang (8.30) sehingga pasti perjalanan akan menempuh medan yang panas. Dan...ini juga penting diingatkan: saya malam tadi tidak melakukan makan sahur. Pagi-pagi saja sudah kehausan.....
Dengan “bismillah” kami akhirnya menuju Banten. Sebelumnya saya isi dulu tanki bensin dengan pertamax sebesar Rp. 16.900. Langsung kami menuju ke Parung. Rencananya kami akan melewati rute Tanggerang dan terus ke Serang.
Bersambung................

Senin, 24 Mei 2010

Surat 4: Kisah Javid


Javid, atau Muhammad Kandaga Javid Namaah, namamu sebenarnya sudah ditulis bahkan 3 tahun sebelum kamu lahir. Waktu itu, ketika kakakmu masih berusia 4 bulan di dalam kandungan. Kakakmu yang aktif meski masih janin itu, sering bergerak menyundul-nyundul perut ibumu dengan lucunya. Terutama jika diperdengarkan music klasik seperti Mozart, Vivaldi, dan sebagainya.
Melihat keaktifan sang janin, kami kemudian menyiapkan dua nama: seorang laki-laki, dan seorang lagi perempuan.
Ternyata kakakmu, Binda, lahir lebih dulu. Namun stok nama itu tidak pernah kami hapus dari memori kami. Bahkan, kedua nama yang sudah kami print/ cetak tersebut, tetap menempel sampai sekarang di lemari pakaian kami.
Dan Javid, kamu adalah bayi dengan sejumlah keistimewaan. Bukan masa hamil yang tidak ketahuan awalnya. Sebab ibumu, tau-tau sudah hamil. Entah itu minggu ke-4, ke-6, atau ke-12. Tapi Ibu hamil diketahui setelah terlihat mengalami sensitifitas yang tinggi, mual-mual, dan agak mabuk. Ketika diperiksa, ternyata kamu sudah bersemayam di perut ibu.
Sejak itu, kami memeliharamu. Kakakmu, Binda, sangat senang akan memiliki seorang adik. Tiap bulan kami periksakan kamu ke Bidan. Sampai akhirnya, masa perkiraanmu lahir sudah tiba. Waktu itu, sesuai perkiraan Bidan Kholisoh yang merawatmu, kamu akan lahir setelah lebaran tiba.
Abimu sudah memesan roda bayi ke Mang Dicky yang sesungguhnya Tante Puti pun sedang hamil untuk anak mereka yang kedua: Kia. Mengapa sudah pesen2 roda bayi? Karena berdasarkan hitungan, kamu akan lahir lebih dulu.
Bahkan sehari atau dua hari setelah lebaran, mamah dari Banten sudah tiba. Oh ya, ketika kamu dikandung itu, kami tidak pulang lebaran. Padahal biasanya kami memaksakan diri untuk pulang. Hal ini karena takut terjadi apa-apa di masa lebaran itu.
[bersambung]

Minggu, 23 Mei 2010

Surat3: keindahan tiada henti


Anak-anakku yang hebat,
Sebagai ayah, kadang Abimu juga merasakan hal yang sama dengan ayah-ayah lain di dunia.
Berikut adalah segores catatan tentang beberapa hal mengenai perasaan.
***
Dalam keterbatasanku sebagai seorang bapak muda dengan dua anak, mencari keindahan seperti halnya yang dilakukan oleh kelas menengah dengan mengunjungi berbagai tempat rekreasi, jelas merupakan “barang” langka bin mahal. Bukan hanya masalah harga yang memang selalu membuat dompet ini “berdebar-debar”, namun juga masalah waktu.
Maklum, kerja dari senin sampai sabtu membuat fisik ini serasa “senin-kamis”. Sehingga, hari libur merupakan upaya recovery tubuh agar esok bisa kembali “mencangkul”.
Untung saja, saya didampingi oleh orang-orang yang teramat baik. Mereka adalah Istriku—yang dengan kesabarannya sanggup menemani saya selama ini—dan dua buah hati yang justru menjadi keindahan tersendiri.
Maka, bagi saya, akhirnya mencari keindahan tidak mesti jauh-jauh ke mana. Keindahan akhirnya ada pada mereka yang selalu tersenyum menyambutku. Riang dan menggembirakan, dan menjadi keindahan yang tidak pernah berhenti.
Di mata mereka yang penuh do’a itu, saya menemukan justru tidak sekedar kedamaian, namun juga taman sari kehidupan yang selalu membuat semangat in kembali membara untuk menaklukan hidup.
Memang, saya merasa sampai saat ini belum bisa membahagiakan mereka. Justru mereka yang lebih banyak membahagiakan saya selama ini. Sehingga, setiap rejeki yang saya dapat, saya merasa menjadi sangat berarti. Dan untuk kesabaran mereka semua, saya hanya bisa berkata: maaf, saya belum bisa membahagiakan kalian.

Sabtu, 22 Mei 2010

Surat 2: Bunga yang Tidak Pernah Layu


Anakku,
Catatan berikut adalah keindahan yang kami temukan ketika kalian sebagai malaikat, mewarnai indahnya setiap perjalan kami.
***
Sejak anak yang kedua lahir, ada yang berbeda dalam sikap dan perilaku kakaknya. Kadang ia terlihat kekanak-kanakan, namun juga tidak jarang justru sangat dewasa.
Dalam satu tugas dari kantor, saya harus pergi ke luar kota yang tentu saja akan menghabiskan waktu beberapa hari (10 harian). Maka setiap ada kesempatan, saya akan menelpon ke rumah untuk sekedar mengecek keadaan dan bercerita seputar apa yang sedang dikerjakan. Ya, sekaligus melipuri kekangenan kepada keluarga.
Tapi justru di sinilah semuanya bermula.
Dalam satu perbincangan di telpon bersama anakku itulah, kutemukan keindahan.
Anak saya bilang, “Abi, kok perginya lama sekali!”
Jawab saya, “Pan sedang mencari nafkah. Buat Ibu, Dede (adiknya), dan Binda.”
“Iya, tapi cepat pulang...Binda kangen!” katanya menggemaskan.
“Iya. Binda jaga Dede ya!”.
“Iya. Tapi Binda punya kejutan buat Abi!”, katanya.
“Apaan tuh,” Kata saya memancing.
“Makanya, Abi cepat pulang!”, katanya lagi.
“Iya...” kemudian telpon beralih ke Istriku.
“Siapa yang ngajarin begitu.” Tanya saya kepada Istri.
“Nggak tau. Dia sendiri yang bereksplorasi begitu!” Katanya.
“Apa kejutannya?”
“Nggak tau!”.
***
Kejadian bahwa ia menjanjikan kejutan itu terus diucapkannya berulang-ulang setiap kali saya menelpon dia. Akhirnya, saya terpancing juga. Namun, seperti sepakat, istriku juga enggan menceritakannya.
Akhirnya, begitu tugas-tugas kantor beres, saya segera meuncur pulang, setelah terlebih dahulu memberitahukan bahwa sebentar lagi saya akan tiba.
Ternyata anak saya menunggu. Namun karena sudah terlalu larut, ia akhirnya ketiduran juga. Ia tertidur justru ketika saya sudah hampir sampai.
Begitu sampai, yang pertama kutanya adalah anakku yang telah membuat penasaran itu. Kata istriku, ia baru saja tidur karena terlalu capai mempersiapkan kejutan untuk saya, katanya.
Saya tanya, apa kejutan yang ia siapkan untuk saya. Istriku kemudian menunjuk ke meja kerja yang ada komputernya. Di sana, ada sebuah vas bunga dari cangkir tempat biasa anakku minum. Di atasnya, ada banyak bunga yang tidak beraturan disusun, cukup rapi untuk anak usia 3 tahun setengah.
Saya terharu. Apalagi istriku bilang bahwa ia sempat menyiapkannya 3 hari yang lalu. Ia memetik sendiri bunga-bunga itu dan menyusunnya. Dan semua itu adalah inisiatif sendiri. Namun, karena bunga-bunga itu sudah layu, anakku kembali bekerja keras memetik lagi bunga-bunga yang baru. Bahkan, ia sendiri yang menyimpannya di sana.
Saya pandangi wajah anak saya. Anakku yang kedua sedang lelap. Sedang yang pertama, sepertinya tidak begitu. Nampak ada wajah penantian. Dan mungkin itu adalah saya. Bapaknya.
Begitu kutatap dalam-dalam, ternyata ia menyadari kehadiran saya. Ia bangun. Dan begitu melihatku, ia tersenyum dan langsung bertanya,
“Abi sudah lihat kejutan dari Binda?” Katanya.
“Sudah. Bagus sekali. Terima kasih ya!” Kataku semakin haru.
Mendengar ribut-ribut, anakku yang orok kemudian bagun. Jadilah, dari jam sebelasan malam itu, kami bertiga bercanda riang melepas kangen.
***
Setelah tiga hari, bunga itu layu. Kering. Istriku kemudian membereskannya. Tapi, anakku, yakinlah, bahwa bunga cinta darimu, tidak akan pernah layu di dalam gelora jiwa dan semangatku.

Bogor, medio agustus 2006

Surat1: Binda Lahir


Surat ke 1
Anakku, Binda.
Tahukah ketika kamu lahir mengisi hari-hari kami. Saat itu, kami masih tinggal di rumah orang tua, Abimu tengah berkutat menyelesaikan pendidikannya. Beruntung, kamu lahir dalam sebuah keluarga yang indah. Keluarga yang selalu menyambutmu meski hari pertama kamu tiba di rumah setelah semalam menginap di klinik tempat kamu dilahirkan, tangismu memecah malam.
Ibu dan Abimu yang kelelahan, hanya bisa berbaring mendengar kamu yang menangis lapar. Maklum, hari pertama kamu lahir, makanan pertamamu hanyalah air gula yang disuapi mamah sedikit sedikit. Kami tahu, engkau lapar. Tapi kami kelelahan. Dan air susu ibumu belum keluar.
Maafkan kami Binda, jika saat itu kami yang bersedih tetapi tidak berbuat banyak.
Namun demikian, sehari setelah itu, ketika air susu ibumu akhirnya bisa keluar, ada banyak kebahagiaan yang melukisi hari-hari kami. Sewaktu Abimu pertama kali memandikanmu dalam sebuah jolang yang berwarna ungu itu, engkau demikian cantik dan menggemaskan.
Dan hari-hari indah itu terus menjadi warna yang menorehkan sejarah pada kehidupan kami. Engkaulah malaikat kami, yang hadir menjadi penyemangat hidup. Dan karena engkau pula, Abimu semangat untuk menyelesaikan pendidikannya. Tesis yang sudah terbengkalai beberapa bulan itu, akhirnya bisa dengan cepat diselesaikan.
Usiamu 3 bulan waktu akhirnya, Abimu diuji untuk menjadi seorang Magister Sosiologi Pedesaan, di hadapan para penguji hebat: Prof (dulu belum Prof.) Dr. Endriatmo Soetarto MA., Dr. Titik Sumarti MS., Drs. Nanang Tahqiq MA., dan Dr. M.T. Felix Sitorus.
Keempat guru hebat tersebut telah menjadi penyebab Abimu menjadi Magister di IPB.
Abimu ini lulus pada sidang tesis yang berjudul: “ Hubungan dan Refleksi Teologi terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Pesantren Pedesaan Kampung Garogol Garut”, pada tanggal 15 Januari 2002.
Sebuah kehebatan buat abimu telah terlesaikan. Dengan keluarbiasaanmu, Abimu menjadi seorang sarjana S2. Sebuah anugrah yang masih langka di keluarga besar kami.