Liburan adalah sarana refresing bagi kami. Pasti bagi keluarga yang lain.
Padahal adalah rutinitas yang membuat kami harus mengelola kapasitas kami dengan baik agar liburan.
Kebetulan, bulan Juli tahun 2010 ini, kami sudah deal untuk membeli sebuah rumah yang selama ini kami kontrak untuk pendidikan KB-TK dan TPA, yang sehari-hari dikelola oleh istri saya.
Meski kredit, tapi insya allah rumah itu terbayar. Rencananya kami akan meningkatkannya menjadi sekolah yang lebih refresentatif, berkelas, dan berkualitas lebih bagus lagi.
Alhamdulillah, pengetahuan yang saya timba dari rekan-rekan di http://PropertiFree.com/?id=tantan, akhirnya saya memiliki properti ini.
Kemarin memang sempat kelabakan mengatur waktu karena antara liburan, mendantangani kesepakatan dan sebagainya itu mepet2 waktunya.
Kehebatan Ayah, Mengapa?
Kehebatan adalah semangat yang selalu menjadikan keseharian begitu indah. Susah, senang, tantangan, harapan, dan segala hal yang kerap menyapa kehidupan kita, adalah pemantik kita menjadi hebat.
Tulisan di blog ini merupakan catatan sehari-hari kami tentang segala hal yang berkait dengan keluarga kami. Selamat membaca, semoga bisa menemukan mutiara di dalamnya
Selasa, 06 Juli 2010
Catatan Menjelang Ultah Binda ke 5
Tak terasa. Anak saya yang pertama, Binda. Sudah genap lima tahun. Usia yang cukup besar, tetapi belum menjadi prestasi besar bagi kami dalam membesarkannya. Kami sadar, bahwa selama 5 tahun bergaul, mendidik, membangun, dan membesarkan Binda itu masih banyak kekurangan, masih banyak PR yang harus terus dikerjakan, dan masih harus banyak belajar.
Oh ya, sebelumnya saya akan bercerita mengenai pelaksanaan perayaan ini.
Sejak Binda suka diundang-undang acara Ulang Tahun kawan-kawannya, ia selalu bertanya kepada kami, kapan ia lahir. Kami tahu. Binda seorang diplomat. Bahasa-bahasa dia--meski waktu itu masih kecil--sudah sangat diplomatis. Tidak pernah langsung meminta sesuatu, tetapi menggunakan metapora lain.
Waktu dia bertanya demikian, kami menyadari bahwa ia ingin juga hari lahirnya dirayakan--sama seperti kawan-kawannya. Alhasil kami menjanjikan bahwa nanti tepat usianya yang kelima akan kita rayakan.
Binda sangat sabar. Termasuk ketika kawan-kawannya mendapatkan sepeda baru yang lebih besar, ia bersedia tidak mendapatkannya hanya karena ia lebih ingin merayakan ulang tahun. Sedih juga sih. Tapi sebuah sepeda yang cukup besar dan baik bagi dia, harganya juga lumayan. Sementara itu, kebutuhan kami terus berjalan. Dan di sisi lain kami juga harus menyisihkan dana yang ada untuk acara ini. Jadi acara ultah Binda tidak boleh gagal. Sebab anak kami sudah bersabar bertahun-tahun.
Kami bukan tidak ingin merayakan ultah seperti yang lain. Tetapi bagi kami acara dengan menghadirkan anak-anak tetangga+para ibunya itu, sangat mahal. Sementara rezeki yang ada hanya cukup untuk sehari-hari, plus bayar banyak cicilan.
Sebenarnya, ulang tahun Binda hari ini (05 Januari) tetapi berhubung hari ini kurang strategis, untuk perayaannya kami melaksanakannya esok (ahad, 06 Januari). Beberapa persiapan standar sudah kami lakukan.
Ada sebuah kue ulang tahun dikirim dari Neneknya di Jakarta yang kebetulan penjual dan pembuat kue. Dan pagi tadi, kami masih sibuk membungkus-bungkus kado-kado buat kawan-kawan Binda yang akan datang. Selain itu, nanti malam agendanya adalah memasak nasi kuning (buat anak-anak dan orang tuanya) dan soto ayam.
Wah rumah seperti kapal pecah. Tapi tidak apa-apa, yang penting acaranya bisa berjalan sukses. Itu jauh lebih penting bagi kami.
Selamat Ulang Tahun Binda. Maaf, kami belum maksimal merayakan ulang tahun pertama kali ini buatmu (dan mungkin sekali-kalinya seumur hidup [sstt...setelah ini acara ulang tahun dipending sebab agendanya buat anak saya yang kedua: Javid!] atau mungkin juga akan berulang).
Doa kami buatmu, semoga kamu merasakan bahwa kecintaan kami buatmu lebih besar dari bayangan dan perasaan kamu sendiri. Semoga kamu semakin dewasa, sebab kamu adalah matahari dan jimat kehidupan kami. Kamu adalah alasan yang membuat kami selalu semangat menapaki hidup--walau sangat berat. Dan kamu juga yang membuat kami berarti sebagai orang tua.
Kamis, 01 Juli 2010
Seperti Roda (mobil) berputar
Mungkin kalian masih ingat bagaimana kita pernah memiliki mobil starlet. Berikut ceritanya:
***
Beberapa Tahun lalu, menjelang lebaran kami disibukkan dengan rencana mau membali sebuah mobil. Mobil bekas yang kami cari harus bisa memenuhi criteria: enak, tidak terlalu murahan, jika dijual kembali harganya masih bagus, dan yang terpenting cocok dengan kantong kami.
Ternyata untuk mendapatkan mobil seperti kriteria di atas tidak mudah. Pencarian mulai dilakukan di internet. Berbagai info dan tips membeli mobil bekas ditelaah dengan seksama. Hasilnya, berlembr-lembar tulisan tentang itu. Kemudian setiap naskah itu didiskusikan dengan istri. Serius banget, deh.
Setelah mendapatkan berbagai info tentang mobil itu, baru kemudian membuat list mengenai mobil yang cocok dan mendekati. Lalu daftar penjualnya. Puluhan show room ditelepon dan didatangi; puluhan orang yang memajang iklan “mobil dijual” juga ditelepon. Pokoknya dihubungi lah.
Lucunya, itu hanya modal berani saja. Sebab duit di tangan belum ada.Namun sudah komitmen dari sebuah lembaga keuangan untuk menyediakan dana itu. Pokoknya, kami mencari saja.
Sepuluh hari menjelang idul fitri kami harus makin fokus. Iseng-iseng sewaktu pulang mengajar di Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ada sebuah mobil Starlet dipajang pada sebuah bengkel dengan tulisan “dijual”. Didekati, ditanya, sepertinya cocok. Starlet SE 1991, limted edition.
Singkat cerita mobil itu akhirnya bisa dibeli, kira-kira 4 hari sebelum lebaran.
Karena belum bisa menyetir sendiri, mertua saya yang membawa mobil itu. Termasuk untuk mudik ke Banten, lalu ke Garut. Dengan memiliki mobil itu, serasa derajat diri meningkat. Beberapa orang terdengar berdecak. Bayangkan, tidak lama setelah memiliki mobil itu, kami memugar tanah sisi rumah untuk dibuat bangunan baru. Sebelumnya, halaman depan kami dibuatkan carport.
Ada bangga juga sih. Seolah2 di saat banyak orang susah, kami malah ketiban rejiki. Agak sombong memang. Tapi itulah perasaan jujur kami. Maafkan kami ya Allah. Sebab tanpa kuasamu, rejeki itu tidak akan sampai kepada kami.
Kesombongan itulah yang kemudian ditegurkan Allah kepada kami. Karena untuk satu keperluan, kami memerlukan dana besar. Dan hasil kesepakatan, mobil itu kami jual kembali. Beruntung Starlet cantik itu tidak terlalu jatuh. Ada sesal, memang. Tapi mau bagaimana lagi, padahal saya sudah cukup lancar membawa mobil. Dan dengan kendaraan itu, kami menikmari sekali saat harus belanja, mengantar saudara ke bis, dan sebagainya.
II
Berbeda dengan tahun ini. Terbalik. Jangankan merencanakan membeli mobil seperti tahun lalu; untuk merencanakan mudik saja, kami harus menghitung sangat-sangat cermat. Jangankan untuk bongkar rumah, membeli gerendel pintu agar bisa dikunci saja kami tidak bisa. Termasuk ketika kami akhirnya harus memupus rencana mudik.
Maklum rejeki tahun ini ‘tidak sederas’ tahun lalu. Sehingga kami harus melakukan ekstra hemat. Jika ditanya orang, “Mudik?”. Jawab kami: “rencananya tidak!” Kami berusaha tetap tersenyum meski getir.
Apa yang terjadi pada kami saat ini, tidak perlu orang tahu. Termasuk ketika kami harus membuat rencana memberikan THR kepada pembantu, keluarga pembantu, mertua, orang tua, dan saudara-saudara. Semua dihitung cermat. Dan sedihnya, tidak ada peningkat jumlah atau nilai THR tahun ini secara nominal, dibanding tahun lalu. Tetapi jika dilihat dari nilainya, THR sekarang secara prosentase sangat besar. Sebab ia dikeluarkan saat kami sangat-sangat harus berhemat!
Jadi THR-THR itu kami keluarkan untuk membuat handai taulan kami tersenyum. Karena dalam lubuk hati, mendapatkan THR itu pasti membanggakan dan mengharapkan.
Saya sendiri untuk lebaran kali ini tidak bisa membeli apa-apa (baju baru, maksudnya). Istri juga demikian, hanya sempet membeli sepasang sepatu karena yang lama sudah sangat ‘aus’. Anak saya yang pertama membeli satu stel, dan anak yang kedua justru hanya membeli jaket. Semua itu kami beli dengan menggunakan kartu kredit. Karena uang yang ada dalam tangan kami sangat2 terbatas. Untuk membayarnya, mudah-mudahan ada rejeki pasca lebaran ini.
Acara mudik sebenarnya tidak dipending sepenuhnya. Binda akhirnya dikirim ke Banten untuk menemani mertua berlebaran supaya tidak terlalu kesepian. Kami bertiga (Saya, istri, dan Javid—anak ke-2) di sini saja menikmati siklus kehidupan yang selalu berputar. Terima kasih, Allah. Lebaran tahun ini memberikan kesadaran kepada kami bahwa hidup itu ibarat roda berputar. []
Lalakon Mudik
Binda dan Javid.
Kadang saya juga menulis dengan basa Sunda. Bahasa Ibu.
berikut adalah catatan mengenai mudik.
***
Nalika jiwa-jiwa ieu lumengis nandangan kanyeri anu teuing ku naon sababna. Mulangkeun sagala rasa ka Dzat anu Maha sagala, ngajadikeun lalakon spiritual anu pinuh makna. Sapertos naon anu diunggelkeun ku Allah dina firman-Na: ”Yeuh...jiwa-jiwa anu mutmainnah! Geura balik deui aranjeun ka Dzat anu Maha Miara tur Mulasara!” Sigana, rada kitu lalakon kuring jeung kulaarga mudik teh.
I
Tadina, niat kuring mudik teh ngan saeutik. Estu nyerahkeun ka taqdir wungkul. Naon sabab? Saperti anu geus biasa, mun urang kasebut mudik, lain ngan mawa diri jeung kulawarga wungkul, tapi anu teu eleh penting oge nyaeta mawa babawaan, kayaning oleh-oleh, jeung saeutik rejeki keur bagikeuneun.
Tah, kusabab taun ieu rejeki teu saperti anu dipiharep, estu ngan cukup jang hirup sakulawarga wungkul, mangkana rencana mudik dileutikkan niatna. Anging, mun aya kajadian luar biasa: conto ngadadak kuring meunang rejegi gede.
Tapi, kusabab sumerah kana taqdir tea, mudik anu niatna ngan saencret teh, kalah jadi. Malah leuwih luar biasa deui, nyaeta kuring mudik rada nekad: make motor! Hiji acara anu boro-boro karencanakeun, kabayangkeun oge henteu.
Poe jumaah, isuk-isuk pamajikan maksa mudik. Sok sanajan sadar yen waragad ’penunjang’na geus ipis. Utang-itung dana anu aya, keukeuh teu cukup bae.
Akhirna, mudik diputuskeun jadi. Isuk harita, teu kudu babawaan. Saaya-aya jeung bener-bener saayana. Teu leuwih; teu kurang.
Kencling indit ninggalkeun imah. Sasalaman ka tatangga anu rada heran sabab maranehna mah apalna kuring moal mudik. Karek dua puluh lengkah, Javid, budak anu kadua bari can 2 taun teh, balik kana panto pager. Digebreg-gebregkeun bari nyebut-nyebut ”motor...motor...”. Hoyong make motor cenah. Bari jejeritan. Duh...
Ninggali panon beureum bari rambisak kitu, hate leeh. Teu tega. Akhirna konci panto dibuka deui. Rap make jaket kulit anu biasa dipake mun naek motor. Lep, helm dipake. Kitu deui pamajikan. Kantong eusi baju diselapkeun di hareup. Ku bismillah, akhirna kuring ngabiur ka Banten. Peta teu kabawa; kitu deui cai, atawa kadaharan. Estu suwung. Padahal, tadi peuting teu sahur.
II
Di luhureun Nouvo Z warna beureum, tilu jiwa ngabelesat meupeuskeun langit anu beuki panas. Panon poe mimiti nyekeutkeun teureuhna, saolah-olah nguji diri anu keur konsentrasi di jalas aspal Bogor-Tangerang.
Untung, angin darehdeh. Leungeuna teu elat mepende. Nyingraikeun lalangse panas anu ngaganggu paninggali. Javid di tukang anu kaapait ku kuring jeung pamajikan, estu tibra. Diparende ku sora motor anu ngaberung melewung patarik-tarik jeung angkot, beus, katur motor sejen.
Untung, poe eta teu saperti dina berita. Anu ngagambarkeun rebuan ’pemudik’ make motor bari pinuh, teu kanyataan. Euweuh rombongan. Nu aya hiji dua pemudik anu silih geseh posisi di jalan.
Jalan anu sepi beuki nandeskeun jalan kuring sakulawarga. Parung dirarung; Tangerang diliwat. Balaraja diseak. Serang kota disebrut. Dua jam leuwih, diselang ku istirahat dua kali. Akhirna Nouvo Z anu mawa kuring kudu reureuh. Pasrah dina kawasana pangeran. Masrahkeun diri di Masjid Baros, anu warnana hejo langit.
Awak jibreg ku kesang. Tapi jiwa gumbira. Beuki deukeut jarak, siga rek tepung jeung Gusti. Dina kasadaran anu aya, kuring ibadah jum’at sakalian istirahat.
Cai anu ngocor maseuhan benget, cacap tepi kana hate. ”Duh gusti....sok sanajan ieu cai ngan maseuhan kulit jeung pori-pori....tapi karaosna saperti ngeueman diri.”
Asana, ceuk rarasaan, eta wudlu pangnikmatna anu karasa ku kuring sapanjang sok wudlu. Bayangkeun, kapanasan mang jam-jam. Terus kabaseuhan. Teu asa saperti besi dileob, tapi saperti buka magrib sanggeus kapanasan sapopoe.
III
Ba’da jum’at, kuring neruskeun perjalanan sesa. Hawa mimiti tiis. Maklum, kandaraan teu saperti di Jakarta atawa Bogor anu geus nyababkeun global warming alias pamanasan global tea. Tapi beuki lila, cuaca bet aleum. Duh, tanda naon ieu teh gusti?
Gebret hujan, kuring sempet eureun sababaraha kali. Akhirna, ku sabab hujan can katengen eureuna, kuring ngabiur terus meulah eta hujan. Memang budak jeung pamajikan kahujanan. Tapi, ceuk pamikir kuring, masih penting keneh geura anjog batan katiisan di jalan.
Akhirna, celak-celak di antara keclakna hujan kuring ampir tepi katujuan. Siga jalma anu rek balik kaasal, kacape sanggeus ampir 5 jam kuring ngaberung di luhureun motor, laas. Kaganti ku kabungah. Beuki deukeut, asa beuki eunteup kana gerbang harepan. Bungangang teu kawadahan.
Memang, Gusti anu ngaguratkeun taqdir. Kuring teu apal yen motor anu mawa kuring teh geus teu disetir deui ku leugeun kuring anu leuleus, tapi ku kersana kakawasaan Allah.
Dina motor, kuring ngabeng malikkeun diri. Masrahkeun sagala, kana kersana Gusti
Langganan:
Postingan (Atom)