Kehebatan Ayah, Mengapa?

Tidak bermaksud sombong, jika blog ini dijuduli dengan "Kehebatan Ayah". Kehebatan ayah yang dimaksud dalam blog ini juga tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan Ibu yang juga hebat. Kehebatan seorang ayah justru karena ia didampingi seorang ibu yang hebat.
Kehebatan adalah semangat yang selalu menjadikan keseharian begitu indah. Susah, senang, tantangan, harapan, dan segala hal yang kerap menyapa kehidupan kita, adalah pemantik kita menjadi hebat.
Tulisan di blog ini merupakan catatan sehari-hari kami tentang segala hal yang berkait dengan keluarga kami. Selamat membaca, semoga bisa menemukan mutiara di dalamnya .

Rabu, 16 Juni 2010

Keajaiban-keajaiban


Tidak terasa, saya sudah menikah lebih dari sekitar 8 tahun. Belum cukup tua memang. Tapi, ternyata cukup lama juga mengayuh rumah tangga ini. Khususnya untuk saya sendiri.
Hasilnya, 2 malaikat kecil yang lucu-lucu dan indah sudah ada disamping saya. Kadang, menemani mereka tumbuh adalah sebuah keindahan tersendiri. Setiap saat, saya bisa mengamati apa yang terjadi pada Binda (anak saya yang ke-1) dan Javid (anak saya yang ke-2).
Berikut adalah catatan saat Binda masih 4,5 tahun dan Javid masih 1,5 tahun waktu itu. Tulisan ini dilatari oleh temuan-temuan tiap hari yang mengagumkan.
***
Binda (4,5 tahun), saat ini sudah menjadi pribadi yang memiliki pilihan-pilihan. Seorang negosiator, tapi juga sangat rasional. Kadang kami berdua kewalahan menghadapi omongannya. Menurut ibunya, agar Binda mengikuti apa yang kita mau, argumentasinya harus dikalahkan. Bayangkan, saya harus berdebat hebat dengan anak kecil yang kata-katanya masih terbatas. Wah, jika sudah begini, kayak kuliah di kelas-kelas filsafat saja.
Apalagi, di rumah, buat anak-anak kami disediakan beragam buku. Kami beruntung bisa mengelola anak-anak supaya tidak terlalu dekat dengan televisi. Mahluq yang menyeramkan itu, saat ini sudah hampir menggantikan peran orang tua seperti kami. Apalagi jika kita berkubang pada alasan bahwa kita sibuk di luar. Wah...makin mantep deh.
Nah, dengan seringnya dibacakan buku-buku itu (anak saya belum bisa membaca meski sudah 4,5 tahun), maka pengetahuan mereka sangat cepat bertambah. Apalagi Binda selalu menggunakan pertanyaan yang awalannya mengapa. Makin panjang deh jawabannya.
Sedangkan Javid (1,5 tahun) pun sudah mulai punya banyak kata-kata. Ia sudah bisa bilang “mau”, “nggak”, “hoyong”, maupun mengangguk (jika ia setuju) dan menggelengkan kepala (jika tidak mau sesuatu). Menurut pengamatan kami, Javid memiliki pribadi yang sensitif. Misalnya, ia akan lebih sakit hati jika dihardik dengan kata-kata yang menyentuh perasaannya, ketimbang dipukul misalnya.
Kadang kami kelepasan. Maksudnya sih hanya mengatakan Javid jangan!, tapi bagi dia, itu jauh lebih menyakitkan ketimbang kita larang dengan gerakan. Begitu juga dengan kakaknya. Kadang mereka berantem (wuhh). Tapi, meski dia masih kecil, Javid melawan. Sedangkan jika kakaknya bilang: “Teteh tidak mau lagi main sama Javid!” Baru deh ia menangis!
***
Ah Anakku. Keajaiban tiada henti selalu ada pada kalian.

Sang Pahlawan


Anak-anakku,
Berikut adalah kisah Binda sewaktu kecil. Binda yang jika saya pulang malam selalu memberikan semangat meski fisik sudah lelah.
Berikut catatan saya tentang peristiwa ini.

Setiap pulang ke rumah sehabis menunaikan tugas-kerja, saya selalu tersenyum jika akan tiba ke pintu pagar. Terlebih jika malam masih belum terlalu larut. Bisa dipastikan bahwa anakku yang pertama langsung membuka gordeng begitu mendengar suara motorku sampai. Begitu melihat benar bahwa yang datang adalah bapaknya, seperti biasanya, ia langsung melompat-lompat dan berteriak: “Abi dongkap...abi dongkap..(Bapak datang....Bapak datang...)” Katanya gembira.
Hal itu terus dilakukannya tiap hari, tentu asal saya datang tidak terlalu larut saja.
Begitu masuk ke dalam, pertanyaan serupa yang juga sering diulanginya adalah:
“Abi, beunang heunteu kipayahna dinten ieu? (Bapak, rejekinya hari ini dapat tidak?” Katanya lagi.
***
‘Kipayah” adalah istilah dalam basa Sunda untuk menunjukkan nafkah atau rejeki. Hal ini tercermin dalam kalimat berikut:
“Kuring indit nyiar kipayah”, artinya, “Saya pergi mencari nafkah”.
***
Namun bagi anak saya yang ini, kipayah dipahami sederhana saja” oleh-oleh atau buah tangan.
Memang, setiap pulang kerja, saya selalu menyempatkan diri untuk membawa sekedar buah tangan bagi anak-anak saya ini. Kadang hanya pisang, jeruk, atau apa saja. Dan jika saya membawanya, dia langsung berteriak-teriak:
“Ibu...Abi dinten ieu kipayahna beunang...(Ibu, hari ini Bapak mendapat rejeki!)” Katanya sambil meraih bungkusan itu dari tangan saya dan menyerahkannya kepada ibunya yang tersenyu.
***
Dalam posisi seperti ini, saya merasa bahwa saya adalah pahlawan. Pahlawan yang memenangkan pertarungan untuk membela sebuah kebesaran dan kesucian yang indah: keluarga. Di keluarga ini, dua mutiara hidup buah kasih kami selalu setia menanti bapaknya pulang.
Jika sudah begini, terutama ketika ditugaskan keluar kota, bayang-bayang indah anak saya yang sedang menanti bapaknya pulang selalu membayang. Sehingga, jika sedang jauh, kerinduan untuk menjumpai mereka meledak-ledak.
Ah anakku...semoga pahlawanmu ini selalu tetap jaya!

Rabu, 02 Juni 2010

Cita-cita


Anakku,
Hal yang sangat membanggakan ketika memiliki kalian adalah memaknai cita-cita. Jika dulu saya ingin berkeluarga, sekarang ingin membesarkanmu dengan indah. dan besok, saya ingin menjadikanmu pribadi yang sukses.

Berikut adalah catatan saya tentang cita2 ini.

Beberapa orang selalu menanyakan dengan pertanyaan yang sama dan berulang: apa cita-citamu selepas ini? Apa rencanamu berikutnya, dll. Pokoknya banyak. Saya berprasangka baik saja, bahwa mereka, para penaya itu merupakan orang-orang yang hidupnya amat terencana, nyaris sistematis, dan selalu tepat dengan target yang ingin dicapai. Saya angkat topi pada mereka, sebab selain mereka adalah orang-orang yang mampu bergelut dengan takdir, juga orang-orang yang mampu mengalahkannya.

Saya bisa dibilang berbeda. Saya merasa, setelah beberapa kali menjumpai kenyataan, kehendakku bukan apa-apa dibanding kehendak-Nya; keinginanku jika ada garis-Nya maka akan menjadi keinginan-Nya. Dengan bahasa kasar, saya tipe orang yang sangat-sangat pasrah dengan takdir atau apa yang digariskan Tuhan.

Pendapat saya ini pasti dibantah banyak orang. Sebab saya seperti orang yang apatis, tanpa emosi, dll. Tapi bagi saya, hal ini dikarenakan sejarah hidup yang menjelaskannya, betapa kita tidak pernah bisa meraih sesuatu tanpa sedikitpun intervensi-Nya.

Dulu, keinginan saya dipupuk sejak SD. Keluargaku selalu mengira-ngira bahwa saya akan menjadi “A”, “B”, atau “C”. Akhirnya, karena terpengaruh teman-teman dan keluarga itu, saya juga membangun cita-cita itu meski hanya dalam hati. Saya belajar rajin, membaca buku pelajaran dan yang berhubungan dengan itu. Saya keras sekali, terkadang sampai bangun tengah malam hanya untuk itu.

Untuk menggapai cita-cita saya yang tinggi itu, saya sudah bertanya sana sini. Termasuk sekolah mana saja yang harus saya lalui agar bisa sampai ke sana.

Tapi begitu SD lulus, yang terjadi sebaliknya. Dan sejak itu, saya tidak pernah mensistematisasi kehidupan saya. Saya biarkan semua mengalir dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Sebab jika tidak, saya bisa stres dan depresi.

Ketika SD, saya bermaksud ke sekolah A, tapi karena biaya yang tidak ada, semua sekolah saya selalu menyesuaikan. Tidak pernah milih sekolah berdasarkan kualitas dan kehendak emosional maupun intelektual. Semuanya diprinsipkan pada satu: YANG PENTING SEKOLAH.

Jadi apa cita-cita saya?

Jawabannya, mungkin yang terbesar adalah ...ya “membangun cita-cita!”